Queensha.id - Jepara,
Praktik penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS), buku pelajaran, hingga seragam sekolah di lingkungan pendidikan negeri kembali menjadi sorotan publik.
Tak hanya terjadi di SD dan SMP negeri, fenomena serupa kini juga diduga marak di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) negeri di Kabupaten Jepara yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.
Sejumlah orang tua siswa mengaku terbebani dengan biaya tambahan yang harus dikeluarkan demi kelancaran pendidikan anak. Selain LKS, wali murid juga diminta membeli seragam sekolah, buku pelajaran, bahkan membayar iuran bulanan, meski status sekolah tersebut adalah sekolah negeri yang menerima dana negara.
“Kalau tidak beli LKS atau buku, anak takut ketinggalan pelajaran. Jadi terpaksa kami beli,” ujar salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Harga LKS bervariasi, mulai dari Rp15 ribu hingga Rp30 ribu per buku, belum termasuk buku pelajaran dan seragam. Bagi keluarga kurang mampu, beban tersebut dinilai cukup memberatkan dan bertentangan dengan semangat pendidikan gratis.
Padahal, regulasi secara tegas melarang praktik tersebut. PP Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 181 melarang guru menjual buku dan perlengkapan peserta didik. UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan menegaskan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan buku.
Sementara Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 Pasal 12A melarang sekolah dan komite melakukan pungutan dalam bentuk apa pun, termasuk penjualan LKS.
Dengan dasar hukum tersebut, praktik jual beli LKS, buku, maupun seragam di sekolah negeri dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan etika pendidikan.
Orang Tua Takut Bersuara
Ironisnya, meski keberatan, banyak wali murid memilih diam. RHD, salah satu orang tua siswa MI negeri di Jepara, mengungkapkan adanya ketakutan akan dampak sosial bagi anak mereka jika orang tua bersuara.
“Orang tua sebenarnya banyak yang keberatan. Tapi tidak berani bicara karena takut anaknya dibully atau diperlakukan berbeda. Sama-sama sekolah negeri, sama-sama dapat dana BOS dan APBD, tapi kenyataannya masih bayar uang bulanan, beli seragam, buku, dan LKS,” ungkap RHD, Senin (22/12/2025).
Menurutnya, pihak sekolah kerap berdalih bahwa tidak ada larangan dari dinas terkait untuk menjual seragam, buku, dan LKS, berbeda dengan kebijakan yang diterapkan di SD negeri di bawah Dinas Pendidikan.
Sekolah Agama Dianggap “Kebal Kritik”
Fenomena ini memunculkan kegelisahan di masyarakat. Sekolah negeri berbasis agama dinilai seolah kebal dari kritik, sehingga praktik jual beli di lingkungan sekolah jarang tersentuh pengawasan publik, lembaga masyarakat, bahkan media.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius, apakah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional hanya berlaku untuk sekolah di bawah Kementerian Pendidikan, dan tidak menyentuh sekolah negeri di bawah Kementerian Agama?
Desakan Tindakan Pemerintah
Orang tua dan pemerhati pendidikan mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk tidak menutup mata. Pendidikan berbasis agama yang seharusnya menjadi solusi pembentukan karakter justru berpotensi menjadi beban ekonomi baru bagi masyarakat.
Sejumlah langkah dinilai perlu segera dilakukan:
1. Sekolah menghentikan praktik penjualan seragam, buku, dan LKS.
2. Pemerintah menyediakan buku pelajaran gratis dan transparan.
3. Orang tua didorong melapor ke Inspektorat, Dinas Pendidikan, atau Kementerian Agama tanpa rasa takut.
Pemerintah Kabupaten Jepara melakukan monitoring dan evaluasi menyeluruh, serta menjatuhkan sanksi tegas bagi sekolah yang terbukti melanggar, baik SD, SMP, MI, maupun MTs negeri.
Jika praktik ini terus dibiarkan, tujuan pendidikan yang adil dan merata dikhawatirkan hanya menjadi slogan. Sementara di lapangan, beban biaya terus dipikul oleh orang tua yang sejatinya berharap pendidikan negeri benar-benar gratis dan berkeadilan.
***
Wartawan: Gun Queensha Jepara.
Tim Redaksi.