Notification

×

Iklan

Iklan

Penarikan Motor Paksa di Jalan Jadi Alarm Bahaya, Polda Metro Jaya Desak Leasing Evaluasi Total SOP

Sabtu, 20 Desember 2025 | 11.15 WIB Last Updated 2025-12-20T04:17:14Z
Foto, ilustrasi. Penarikan kendaraan bermotor di jalan oleh debt collektor.


Queensha.id - Jakarta,


Peristiwa tragis yang menewaskan seorang anggota Polri saat upaya penarikan sepeda motor di Kalibata menjadi peringatan keras bagi industri pembiayaan nasional. Polda Metro Jaya secara tegas meminta seluruh lembaga pembiayaan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) penagihan kredit, khususnya praktik penarikan kendaraan bermotor di jalanan.


Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Budi Hermanto, menegaskan bahwa pengambilan paksa kendaraan di ruang publik bukan prosedur yang dibenarkan hukum. Insiden yang terjadi pada Sabtu tersebut bermula dari cekcok antara penagih utang dan pemilik kendaraan, yang berujung pada tindakan pencabutan kunci kontak secara paksa.


“Dari situ terjadi penganiayaan secara bersama-sama yang mengakibatkan korban meninggal dunia,” ujar Kombes Budi Hermanto di Mapolda Metro Jaya, dikutip dari Antara.


Menurutnya, kasus ini harus menjadi “lampu merah” nasional bagi seluruh perusahaan leasing agar tidak lagi mengedepankan cara-cara represif dalam penagihan kredit.


“Dengan adanya peristiwa ini, menjadi evaluasi bagi seluruh pembiayaan atau leasing untuk mengatur regulasi penagihan yang tepat dan sesuai hukum,” tegasnya.


Polda Metro Jaya menekankan bahwa mekanisme penarikan kendaraan bermotor seharusnya dilakukan melalui jalur administratif, bukan dengan cara menghentikan, memaksa, apalagi merampas kendaraan di jalan. Apabila jaminan fidusia telah terdaftar dan kredit bermasalah, penyelesaian wajib ditempuh melalui pemanggilan resmi atau pembahasan di kantor pembiayaan.


“Bukan mengambil atau memberhentikan secara paksa customer yang ada di jalanan,” kata Budi.


Ia juga menyoroti praktik di lapangan yang kerap menyimpang dari aturan, mulai dari pencegatan kendaraan, pemaksaan turun dari motor, hingga perampasan secara sepihak. Ironisnya, banyak penagih yang tidak dibekali Surat Perintah Kerja (SPK) yang sah, bahkan minim pemahaman hukum.


“Akibatnya terjadi pemberhentian dan perampasan yang justru berpotensi pidana,” ungkapnya.


Atas kondisi tersebut, kepolisian meminta agar setiap perusahaan pembiayaan memastikan petugas lapangan memiliki legalitas jelas, pemahaman hukum memadai, dan SOP yang ketat, guna mencegah konflik dan kekerasan serupa terulang.


Polda Metro Jaya juga mengimbau masyarakat agar tidak takut melapor apabila mengalami penarikan kendaraan secara paksa di jalan. Warga diminta segera menghubungi layanan Kepolisian 110 untuk mendapatkan perlindungan hukum.


“Jika diberhentikan secara paksa, silakan hubungi 110,” pungkas Budi.


Praktik Premanisme Berkedok Penagihan
Menanggapi fenomena ini, pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai praktik penarikan kendaraan di jalan telah bergeser menjadi bentuk premanisme terselubung yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap hukum.


“Penagihan utang seharusnya berbasis hukum dan etika. Ketika dilakukan dengan intimidasi dan kekerasan, itu bukan lagi penagihan, tapi teror terhadap warga,” tegas Purnomo.


Ia menilai negara tidak boleh kalah oleh praktik semacam ini. Menurutnya, evaluasi SOP leasing harus diikuti dengan penegakan hukum yang tegas terhadap oknum penagih yang melanggar aturan.


“Kalau dibiarkan, korban bisa terus berjatuhan. Peristiwa di Kalibata ini harus menjadi titik balik. Hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan bisnis,” ujarnya.
Purnomo juga mengingatkan masyarakat agar memahami hak-haknya sebagai konsumen dan tidak segan melibatkan aparat penegak hukum jika menghadapi tindakan penagihan yang melanggar hukum.


Kasus ini kini menjadi sorotan luas publik dan diharapkan mendorong perubahan serius dalam praktik penagihan kredit di Indonesia, agar tidak lagi memakan korban dan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan serta kemanusiaan.


***
Tim Redaksi.