| Foto, ilustrasi. Seorang suami menelantarkan istri dan anaknya. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Fenomena suami menelantarkan istri dan anak masih sering terjadi di berbagai daerah, termasuk di Jepara. Penelantaran ini tidak hanya menimbulkan penderitaan ekonomi, tetapi juga luka psikologis yang panjang bagi keluarga. Lalu, seperti apa dosa dan konsekuensi bagi seorang suami yang mengabaikan tanggung jawabnya? Berikut ulasan lengkap dari perspektif Islam, ulama terkemuka Indonesia, dan pandangan pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo.
Pandangan Islam: Penelantaran adalah Dosa Besar yang Menghancurkan Aturan Rumah Tangga
Dalam ajaran Islam, suami memegang peran sebagai qawwam merupakan pemimpin dan penanggung jawab keluarga. Al-Qur'an secara tegas menyebut bahwa laki-laki diwajibkan memberikan nafkah lahir batin kepada istri dan anak-anaknya.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Artinya, ketika suami meninggalkan kewajiban ini baik dengan sengaja tidak memberi nafkah, tidak pulang tanpa alasan syar’i, atau lepas tangan dari tanggung jawab dan maka ia melakukan dosa yang berat.
Nabi Muhammad SAW juga memperingatkan keras:
"Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya."
(HR. Abu Dawud)
Dalam banyak kitab fikih, ulama menilai penelantaran ini sebagai bentuk zhulm (kezaliman) yang akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Pandangan Ulama Terkemuka Indonesia
1. KH. Cholil Nafis (MUI)
Beliau menegaskan bahwa suami yang tidak memberi nafkah tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka ia telah melakukan maksiat.
“Nafkah itu wajib. Bila suami sengaja tidak memberi nafkah, itu termasuk dosa besar dan istri berhak menggugat," ucapnya.
KH. Cholil juga menjelaskan bahwa penelantaran bukan hanya soal uang, tetapi juga kewajiban moral seperti perlindungan, perhatian, dan kehadiran.
2. Buya Yahya
Buya Yahya sering menyebut bahwa suami yang kabur, malas bekerja, atau sibuk dengan kesenangan pribadi sehingga membiarkan keluarganya menderita, termasuk golongan laki-laki yang hilang kehormatannya di hadapan Allah.
“Kaum laki-laki diberi kemuliaan sebagai pemimpin. Jika ia meninggalkan kewajiban, maka itu kehinaan," ungkapnya.
3. Ustaz Adi Hidayat (UAH)
UAH menegaskan bahwa nafkah adalah ibadah. Ketika seorang suami berhenti memberi nafkah tanpa alasan syar’i, maka ia telah meninggalkan ibadah wajib.
“Nafkah itu fardhu. Yang meninggalkan fardhu berdosa. Apalagi jika keluarganya sampai menderita," ujarnya.
Pandangan Pengamat Sosial Jepara, Purnomo Wardoyo
Pengamat sosial Jepara Purnomo Wardoyo menilai bahwa kasus suami menelantarkan keluarga semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, fenomena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor: tekanan ekonomi, krisis moral, dominasi pergaulan bebas, hingga ketidakmatangan mental suami.
Ia menyebut bahwa penelantaran keluarga membawa dampak sosial yang luar biasa.
“Anak-anak yang ditinggal ayahnya tanpa tanggung jawab biasanya tumbuh dengan luka batin. Mereka kehilangan figur panutan, lalu mencari peran itu di luar rumah, dan ini rentan memicu kenakalan remaja," tuturnya.
Purnomo juga menyoroti kondisi masyarakat Jepara.
“Di Jepara, ada beberapa kasus suami pergi bekerja ke luar kota atau luar negeri, lalu hilang komunikasi bertahun-tahun. Padahal di rumah, istri dan anak-anak menunggu tanpa kepastian. Ini bukan hanya soal dosa, tetapi tindakan yang melanggar nilai kemanusiaan," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa peran tokoh masyarakat, pemerintah desa, hingga lembaga sosial perlu lebih aktif melakukan pendampingan.
“Penelantaran keluarga harus dianggap sebagai masalah serius. Ada istri yang depresi, ada anak yang putus sekolah. Kita tak bisa membiarkan ini menjadi budaya diam.”
Penelantaran Bukan Hanya Dosa, Tapi Kejahatan Sosial
Dari perspektif agama, penelantaran keluarga adalah dosa besar. Dari perspektif ulama, ini merupakan penghianatan terhadap amanah Allah. Dari perspektif sosial, ini adalah tindakan destruktif yang memengaruhi masa depan anak-anak dan stabilitas masyarakat.
Islam menempatkan tanggung jawab suami sebagai amanah yang mulia. Ketika amanah itu diabaikan, maka hilanglah keberkahan, runtuhlah kehormatan, dan tumbuhlah luka yang membekas panjang.
Keluarga adalah titipan. Dan seorang suami akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap air mata yang jatuh karena kelalaiannya.
***
Tim Redaksi.