Notification

×

Iklan

Iklan

Arus Uang Haram yang Mencekik Negeri Diam-diam

Minggu, 25 Mei 2025 | 22.01 WIB Last Updated 2025-05-25T15:03:03Z
Foto, cerita bisnis.


Queensha.id - Jakarta,

Pernahkah kita membayangkan, di balik layar ponsel yang tampak biasa, ada gelombang uang haram mengalir deras—diam-diam, senyap, tapi nyata? Di sanalah judi online, atau yang kini akrab disebut “judol”, menunjukkan taringnya. Ia bukan lagi sekadar permainan iseng. Ia telah menjelma menjadi industri gelap yang menggerogoti bangsa ini dari dalam.

Laporan terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membuka mata banyak pihak: perputaran uang dari transaksi judi online di Indonesia pada tahun 2023 saja mencapai Rp327 triliun. Lebih mencengangkan lagi, bila diakumulasi sejak tahun 2017, angkanya telah menembus Rp517 triliun—angka yang bisa menyaingi Produk Domestik Bruto (PDB) sebuah negara kecil.

Sebagai perbandingan, total laba bersih gabungan dari empat bank terbesar di Indonesia—BCA, BRI, Mandiri, dan BNI—pada tahun yang sama hanya berkisar Rp192 triliun. Satu aktivitas ilegal nyaris menyamai kekuatan ekonomi sah yang menopang kehidupan jutaan rakyat.

Menyerang Semua Kalangan

Dulu, judi online mungkin dianggap sekadar permainan ringan yang bisa dinikmati tanpa risiko besar. Kini, ia telah berubah menjadi candu yang merusak lintas usia dan profesi. Dari remaja yang baru mengenal gawai, buruh harian, pedagang kecil, hingga Aparatur Sipil Negara (ASN) dan aparat penegak hukum dan semua bisa terpapar.

Modusnya pun semakin licin. Judol menyamar lewat game biasa, disisipkan di balik live streaming, bahkan disamarkan lewat iklan produk digital. Kemudahan akses dan iming-iming kekayaan instan membuatnya seperti “jalan pintas” menuju kehancuran.

Satu klik “deposit” bisa berarti hilangnya uang belanja keluarga, modal usaha, hingga tabungan pendidikan anak. Dan tak sedikit yang akhirnya terjerumus dalam utang, konflik rumah tangga, hingga kejahatan untuk membiayai kecanduan ini.

Pertumbuhan yang Tak Terkejar

Negara memang tidak tinggal diam. Pemblokiran situs dilakukan, ratusan laporan ditindak, dan regulasi terus diperbarui. Namun kecepatan pertumbuhan industri ini jauh melampaui respons pemerintah. Seolah satu situs ditutup, seratus situs baru bermunculan. Seolah satu jaringan dibekuk, dua jaringan lain siap mengambil alih pasar gelapnya.

Teknologi yang digunakan para pelaku semakin canggih, mengandalkan sistem pembayaran tersembunyi, jaringan luar negeri, hingga akun-akun palsu yang sulit dilacak. Upaya penegakan hukum tak akan pernah cukup jika tak dibarengi dengan partisipasi publik.

Perlawanan Dimulai dari Rumah

Kini waktunya rakyat bergerak. Perang melawan judol tak bisa diserahkan sepenuhnya pada aparat. Ia harus dimulai dari rumah—dari percakapan dengan anak-anak, edukasi digital yang sehat, hingga membangun kesadaran bahwa kekayaan instan adalah fatamorgana.

Jangan biarkan narasi “cuma iseng” membius logika kita. Jangan remehkan dampak dari satu transaksi kecil. Karena dari situlah lubang kerusakan bermula.

Jika tahu ada kerabat yang terjerat, jangan mencemooh. Rangkul. Ajak bicara. Bantu mencari jalan keluar. Jika tahu situs atau akun promotor judol, jangan sekadar membagikannya sebagai lelucon di grup WhatsApp. Laporkan.

Ekonomi Tak Akan Tumbuh di Atas Kerakusan

Indonesia boleh bangga dengan geliat UMKM, bonus demografi, dan kemajuan digital. Tapi semua itu tak berarti jika daya beli rakyat habis di meja taruhan digital. Tak ada gunanya membangun ribuan sekolah jika anak-anak kita lebih akrab dengan istilah “bonus deposit” daripada konsep menabung.

Judol bukan sekadar soal menang dan kalah. Ia soal kehilangan. Kehilangan kendali, kehilangan keluarga, kehilangan masa depan. Dan jika ada yang berkata, “Biarkan negara yang urus,” kita harus berani menjawab: “Kita tak bisa menunggu.”

Karena penyelamatan bangsa ini, dimulai dari kesadaran kita sendiri.



Disclaimer: 

"Artikel ini disusun sebagai refleksi terhadap fenomena ekonomi digital ilegal. Meski berdasarkan data terpercaya, tulisan ini tidak menggantikan laporan akademik atau kajian hukum. Guna edukasi dan kesadaran masyarakat",