Queensha.id - Bogor,
Di SMA Harapan Mulia, Bogor semua mata selalu tertuju pada satu nama yakni Sisilia Intan, gadis kelas XII yang memesona bukan hanya karena parasnya yang rupawan, tapi juga karena kelembutan hatinya. Setiap pagi, deretan motor sport dan mobil mewah terparkir rapi di depan rumahnya. Bunga, boneka, dan hadiah-hadiah mahal tak pernah absen. Pria-pria kuliahan berdasi dan berparfum mahal rela antre sekadar melihat senyum manis Sisil di balik pagar rumahnya.
WhatsApp-nya tak pernah sepi. Ratusan pesan masuk setiap hari. Puluhan panggilan tak terjawab. Sisil kelelahan, tapi ia tetap berusaha bersikap sopan. Namun diam-diam, di sudut sekolah, seorang gadis memperhatikan Sisil dengan pandangan yang penuh dendam. Vera — si cantik kedua yang tak pernah terima jadi nomor dua.
"Apa hebatnya dia? Cuma karena wajah? Kalau begitu, wajah itu harus dihancurkan!" gumam Vera di dalam hati.
Usaha pertama: menyelinap ke ruang praktik dan mengganti skincare Sisil dengan bahan kimia. Gagal.
Usaha kedua: menyewa preman untuk menakuti Sisil di jalan. Gagal juga.
Tapi Vera tak menyerah. Ia menyusun rencana keji. Kali ini, bukan untuk menakuti. Tapi untuk menghancurkan selamanya.
Pada suatu sore saat Sisil hendak pulang les, tiba-tiba seorang pria bertopi menghampirinya dari arah belakang. Sebelum Sisil sempat menoleh, siraman cairan panas menghantam wajahnya.
"AAAAAAHHHHH!!!"
Seketika jeritannya menggema. Dunia Sisil runtuh.
Sepi Setelah Ramai
Satu tahun berlalu. Rumah Sisil tak lagi ramai. Tak ada lagi mobil mewah. Tak ada lagi panggilan video dari pria-pria tampan. Ia tak keluar rumah. Cermin menjadi musuh. Bahkan dirinya sendiri pun enggan dikenali.
Polisi pun tak mampu membongkar dalang utama meski pelaku penyiram telah ditangkap. “Disuruh orang,” kata pelaku. Tapi siapa?
Hingga suatu hari, setelah kelulusan SMA... sebuah kabar mengguncang:
"Siswi SMA Ternama Ditangkap! Terbukti Dalang Penyiraman Air Keras ke Temannya Sendiri!"
Nama itu: Vera.
Kalau kamu ingin, cerita ini bisa kita lanjutkan menjadi kisah bersambung, menggali kehidupan Sisil pasca tragedi, proses hukuman Vera, dan mungkin perjalanan Sisil mencari makna baru dalam hidup dan cinta yang tulus.
Luka yang Mekar di Hati
Vera ditangkap dengan wajah tertunduk. Di hadapan kamera media, ia tak mampu mengangkat kepala. Pengakuannya mengejutkan semua orang—bahwa rasa iri bisa berubah menjadi kebencian yang begitu membutakan.
"Aku benci lihat dia dipuja semua orang… Aku benci lihat dia bahagia!"
Kalimat itu jadi bukti bahwa rasa iri yang dibiarkan tumbuh bisa menghancurkan dua kehidupan sekaligus.
Sisil, di balik selimut luka yang masih menempel di wajahnya, menonton berita itu dalam diam. Tak ada senyum kemenangan. Tak ada dendam terbalas. Hanya air mata yang jatuh pelan di pipinya yang tak lagi sempurna.
"Aku nggak pernah minta dicintai sebanyak itu…" bisiknya lirih.
Beberapa hari kemudian, Sisil akhirnya keluar rumah. Ia berjalan perlahan ke sekolah, menghadiri penyerahan ijazah alumni. Semua orang menatapnya—bukan karena kecantikan, tapi karena keberaniannya.
Di atas panggung, kepala sekolah memeluknya dan berkata,
"Kecantikanmu kini lebih dari sekadar wajah, Sisil. Kau memberi pelajaran besar bagi kami semua."
Tepuk tangan menggema. Mata-mata yang dulu hanya memandang fisiknya, kini menatap dalam ke jiwanya.
Sisil tersenyum. Luka itu tak akan hilang. Tapi hari ini, ia memilih untuk berdiri, bukan bersembunyi.
Dan saat matahari sore menyentuh ujung langit, Sisil melangkah pulang, menatap ke depan—bukan sebagai gadis paling cantik di sekolah, tapi sebagai perempuan paling kuat yang pernah lahir dari luka.
***
0 Komentar