Notification

×

Iklan

Iklan

Naik Pesawat dengan Kursi Berdiri: Era Baru Penerbangan Murah atau Ancaman Kenyamanan?

Minggu, 25 Mei 2025 | 21.03 WIB Last Updated 2025-05-25T14:07:19Z
Foto, ilustrasi. Pesawat terbang komersial bakal berikan layanan kursi berdiri.


Queensha.id - Jakarta,

Bayangkan Anda terbang sejauh 500 kilometer, tanpa benar-benar duduk. Itulah pengalaman yang mungkin akan dirasakan penumpang maskapai berbiaya rendah dalam waktu dekat, seiring hadirnya inovasi kontroversial: kursi berdiri. Dikenal dengan nama Skyrider 2.0, kursi ini dirancang untuk memangkas biaya operasional maskapai sekaligus memaksimalkan jumlah penumpang.

Kursi Atau Sandaran? Kenalan dengan Skyrider 2.0

Diperkenalkan oleh perusahaan Italia Avio Interiors, Skyrider 2.0 merupakan pengembangan dari desain awal yang pertama kali mencuri perhatian pada pameran Aircraft Interiors Expo 2018 di Hamburg. Alih-alih duduk seperti biasa, penumpang akan “bertengger” pada kursi bergaya pelana dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Beratnya yang 50% lebih ringan dari kursi konvensional serta komponennya yang minimalis membuat kursi ini lebih mudah dirawat dan dipasang dalam kabin pesawat.

Dengan hanya menyediakan ruang seluas 23 inci antar baris—dibandingkan 30 inci pada kursi ekonomi biasa—Skyrider memungkinkan maskapai mengangkut hingga 20% lebih banyak penumpang dalam satu penerbangan. Namun, kenyamanan menjadi taruhan utama.

Hanya Untuk Penerbangan Pendek

Kursi ini hanya akan digunakan untuk rute pendek dengan durasi maksimal dua jam. Alasannya jelas: tubuh manusia tidak dirancang untuk berdiri setengah duduk dalam waktu lama. Meski begitu, bagi sebagian pelancong dengan anggaran terbatas, kompromi ini bisa dianggap sepadan jika harga tiket turun secara signifikan. Hingga kini, belum ada pengumuman resmi mengenai tarif pasti untuk kursi Skyrider 2.0.

Di Antara Regulasi dan Risiko

Walaupun Skyrider 2.0 telah memenuhi sejumlah persyaratan keselamatan, tantangan sertifikasi tetap besar. Menurut SimpleFlying, kursi pesawat komersial harus lulus uji tabrakan dinamis dan mendapat persetujuan dari otoritas seperti EASA (Eropa) dan FAA (Amerika Serikat). Ini mencakup evaluasi ketat terhadap evakuasi darurat, distribusi gaya benturan pada tubuh, dan dampaknya terhadap konfigurasi kabin secara keseluruhan.

Fakta bahwa posisi semi tegak mengubah distribusi gaya benturan ke tulang belakang dan panggul menjadi tantangan tersendiri bagi para insinyur penerbangan. Belum lagi kenyataan bahwa kabin pesawat saat ini tidak dirancang untuk konfigurasi vertikal—mulai dari jalur evakuasi hingga penyimpanan kabin yang harus didesain ulang total.

Antara Efisiensi dan Empati

Di satu sisi, kursi berdiri menjanjikan revolusi dalam efisiensi penerbangan murah. Di sisi lain, muncul pertanyaan etis tentang kenyamanan dan martabat penumpang. Apakah masyarakat bersedia “berdiri” di udara demi harga tiket yang lebih murah? Atau justru ini akan menjadi babak baru dari “kelas ekonomi super hemat” yang mengorbankan hak dasar kenyamanan?

Menuju Langit yang Lebih Padat

Beberapa maskapai Eropa disebut-sebut sedang mempertimbangkan penerapan kursi ini dalam waktu dekat. Jika sukses, bukan tidak mungkin ide ini akan merambah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dikenal dengan lonjakan penumpang LCC (Low Cost Carrier) setiap tahunnya.

Namun sebelum kita benar-benar "berdiri" di langit, industri penerbangan masih harus menjawab banyak pertanyaan: mulai dari keselamatan, kelayakan kabin, hingga kesiapan regulasi. Satu hal yang pasti: masa depan penerbangan semakin sempit dan lebih tegak dari sebelumnya.

***

Sumber: KPS.

×
Berita Terbaru Update