Foto, perang Iran. |
Queensha.id - Teheran, Iran,
Ketika dunia mengupayakan perdamaian dan stabilitas, kawasan Timur Tengah justru terus bergolak. Di tengah pusaran politik, ideologi, dan kekuatan militer, Iran menjadi salah satu negara yang kerap bersinggungan secara tajam dengan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat, Israel, dan beberapa sekutu Arab-nya. Perang dalam arti konvensional mungkin belum meletus secara luas, namun perang dalam bentuk lain – seperti perang proksi, sanksi ekonomi, hingga serangan siber dan sudah berlangsung bertahun-tahun.
Awal Permusuhan: Revolusi Iran 1979
Ketegangan Iran dengan negara-negara Barat bermula dari Revolusi Islam tahun 1979. Revolusi ini menggulingkan pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi yang didukung Barat, dan membawa Ayatollah Khomeini serta ideologi Syiah-Islamis ke tampuk kekuasaan. Iran berubah drastis dari negara sekuler pro-Barat menjadi negara teokrasi Islam yang anti-Amerika dan anti-Israel.
Pada tahun yang sama, penyanderaan 52 diplomat Amerika di Kedutaan AS di Teheran selama 444 hari memicu permusuhan panjang dengan Amerika Serikat.
Sanksi dan Isolasi: Perang Ekonomi Bertahun-tahun
Sejak revolusi, Iran hidup di bawah bayang-bayang sanksi ekonomi dari Barat. Puncaknya adalah ketika Iran dituduh mengembangkan senjata nuklir secara diam-diam. AS dan sekutu Eropanya memberikan sanksi berat, memblokir perbankan internasional, dan membatasi ekspor-impor Iran, termasuk minyak – sumber utama devisa negara.
Meskipun Iran bersikeras bahwa program nuklirnya untuk kepentingan damai, ketidakpercayaan global sulit dipadamkan. Puncaknya, AS keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA) tahun 2018 di bawah Presiden Donald Trump, dan kembali memperketat sanksi. Iran pun membalas dengan melanjutkan pengayaan uranium hingga tingkat yang mendekati kebutuhan senjata.
Perang Proksi: Iran vs Arab Saudi dan Israel
Alih-alih terlibat dalam perang langsung, Iran memilih strategi perang proksi – mendukung milisi dan kelompok bersenjata di negara-negara lain yang memiliki kepentingan sejalan dengan ideologinya.
- Di Yaman, Iran dituduh mendukung kelompok Houthi yang melawan pemerintahan sah dukungan Arab Saudi.
- Di Suriah, Iran mengirim milisi dan penasihat militer untuk mendukung rezim Bashar al-Assad melawan kelompok oposisi dan ISIS.
- Di Lebanon, Iran menjadi pendukung utama Hizbullah, kelompok bersenjata Syiah yang dikenal anti-Israel.
- Di Irak, Iran memiliki pengaruh besar lewat kelompok-kelompok milisi Syiah yang terlibat dalam politik dan keamanan domestik.
Semua ini menjadikan Iran sebagai musuh langsung Israel dan rival berat Arab Saudi di kawasan.
Serangan Drone, Serangan Siber, dan Ketegangan Laut
Selama beberapa tahun terakhir, konflik Iran dan musuh-musuhnya naik level. Tidak ada perang terbuka, namun serangan terjadi hampir rutin:
- Serangan Drone dan Rudal menghantam fasilitas minyak Arab Saudi (Aramco) pada 2019, dan Iran dituduh sebagai dalangnya.
- Serangan terhadap Kapal Tanker di Selat Hormuz, jalur penting minyak dunia, mempertinggi risiko konflik maritim.
- Israel dituduh melakukan pembunuhan ilmuwan nuklir Iran dan sabotase fasilitas nuklir lewat operasi intelijen dan siber.
- Iran membalas dengan serangan siber ke infrastruktur Israel dan sekutunya.
Apa yang Ditakutkan Dunia?
Ketegangan ini bukan sekadar persaingan geopolitik biasa. Iran bukan negara kecil. Dengan populasi 85 juta jiwa, militer yang kuat, pengaruh ideologi ke berbagai negara, dan program nuklir yang misterius, Iran mampu memicu konflik regional besar dan bahkan Perang Dunia kecil di Timur Tengah.
Selain itu, kawasan Teluk adalah pusat energi global. Setiap bentrok terbuka bisa memicu lonjakan harga minyak, krisis ekonomi global, dan bencana kemanusiaan.
Akankah Perang Terbuka Terjadi?
Sampai kini, Iran dan musuh-musuhnya seperti Israel dan Amerika Serikat masih menahan diri untuk tidak terjun ke konflik langsung. Namun, berbagai analis militer percaya bahwa satu kesalahan kecil – seperti salah tembak drone atau pembunuhan figur penting yang bisa menjadi pemicu perang besar.
Pada awal 2025 ini, ketegangan kembali meningkat ketika Iran mengumumkan bahwa mereka telah menguasai teknologi pengayaan uranium hingga 90%, level yang setara dengan bom nuklir. Israel menyatakan “akan bertindak” jika Iran melewati batas tertentu. Amerika Serikat pun menyiagakan armadanya di Teluk Persia.
Untuk kesimpulannya, perang Iran dengan negara lain sejatinya adalah perang yang tidak sepenuhnya terlihat di permukaan. Ini adalah perang ideologi, pengaruh, dan strategi yang rumit, dijalankan lewat jalur proksi, tekanan ekonomi, serangan intelijen, hingga diplomasi senjata.
Masyarakat dunia berharap diplomasi bisa terus mencegah perang terbuka. Namun selama ketidakpercayaan, rivalitas sektarian, dan pengaruh kekuatan global masih kuat, kawasan ini akan tetap berada di ujung tanduk.
Jadi, dunia harus menyadari, bahwa bukan hanya senjata yang bisa meledakkan perang, tapi juga rasa curiga yang terus dibiarkan membara.
***
Sumber: BS.
0 Komentar