Notification

×

Iklan

Iklan

Berbaju Safari dalam Khayalan, Harapan Seorang Pengangguran dari Kembang Jepara

Rabu, 25 Juni 2025 | 22.28 WIB Last Updated 2025-06-25T15:34:01Z

Foto, seorang pria asal Desa di kecamatan Kembang, Jepara. 

Queensha.id - Jepara,

Di sebuah rumah sederhana di Desa terpencil wilayah Kecamatan Kembang, Jepara, seorang pria duduk termenung di sudut dapur. Umurnya telah menginjak kepala empat. Rambutnya mulai memutih di sisi pelipis. Tubuhnya masih tegap, tapi lelah hidup terlihat jelas dari sorot matanya. Di tengah kesunyian pagi, ia membayangkan satu hal sederhana namun membekas: mengenakan baju safari, duduk di kursi empuk sebagai asisten orang kaya.

“Entah kenapa, saya pengen rasanya kerja jadi asisten orang penting, pakai baju rapi, baju safari. Bukan buat gaya-gayaan, tapi buat ngerasain hidup tenang, kerja terarah, ada harapan tiap hari,” ujar pria tersebut, sebut saja namanya Sardi.

Sardi bukan nama besar di kota. Ia bukan tokoh desa. Tapi cerita hidupnya mewakili ribuan, bahkan jutaan warga Indonesia yang terseok di tengah kerasnya kehidupan.

Setelah belasan tahun bekerja serabutan yang kadang jadi kuli bangunan, kadang jadi buruh panen di luar kota dan Sardi memutuskan merantau ke Jakarta dua tahun lalu. Tapi ibu kota tak bersahabat. Upah harian yang tak sebanding dengan biaya kos dan makan membuatnya mundur. Ia pulang dengan tangan kosong.

“Saya kira Jakarta bisa jadi jalan keluar. Tapi ternyata, saya justru makin terpuruk di sana. Pulang pun jadi malu sama tetangga,” katanya dengan suara berat.

Kini, hari-harinya di kampung diisi dengan mengangkut barang di pasar, kalau ada yang menyuruh. Kadang dapat upah Rp 20.000, kadang tidak sama sekali. Belum lagi jika pasar sepi. Di saat seperti itu, ia hanya bisa pulang dengan langkah lesu.


"Makan aja susah, apalagi nikah"

Sardi tak berani menikah. Bukan karena tak punya rasa cinta. Tapi ia sadar, hidupnya sendiri masih remuk. “Saya nggak mau menyusahkan orang lain. Nikah itu ibadah, tapi kalau saya nggak bisa kasih makan, saya takut jadi dosa juga,” ucapnya.

Orang tuanya pun hidup dalam kesederhanaan ekstrem. Ayah dan ibunya bertani, namun bukan di lahan milik sendiri. Mereka hanya menggarap sawah milik orang. Upahnya dibagi saat panen, dengan jumlah yang tak menentu.

Namun di tengah hidup yang keras, Sardi punya sesuatu yang ia anggap sebagai harta paling berharga yaitu keimanan.

“Dari kecil orang tua saya ngajarin agama. Jangan mencuri, jangan bohong, jangan hina orang. Itu yang jadi pegangan saya. Saya susah, iya. Tapi saya masih punya malu dan iman,” katanya sambil menatap langit-langit dapur.


"Apa salah saya? Kenapa hidup saya begini?"

Sardi sering bertanya dalam doa. Usia 40 tahun, tapi hidupnya seperti tidak bergerak. Saudara-saudaranya pun bernasib serupa. Satu-satunya penghasilan hanya datang dari pekerjaan harian yang tak pasti.

“Ada apa dengan saya? Saya tanya terus sama Allah. Saya nggak mabuk, nggak judi. Tapi kenapa ya, saya tetap susah?”

Ia tidak menyalahkan takdir. Tapi ia mencari jalan. Ia butuh solusi.


Solusi yang Ia Harapkan:

  • Keterampilan Baru
    “Saya mau belajar kerja lain, mungkin servis motor, atau pelatihan kerja. Tapi di sini susah aksesnya. Cuma dengar-dengar aja, nggak tahu ke mana daftarnya,” ujar Sardi.

  • Pendampingan Pemerintah
    Program seperti padat karya, pelatihan UMKM, bantuan modal—semua itu ia dengar dari berita. Tapi belum pernah benar-benar menyentuh desanya.

  • Relasi Sosial dan Kepercayaan Diri
    Ia sadar, untuk berubah, ia juga harus membuka diri. Tapi bekal pendidikan rendah dan minimnya relasi membuatnya terkungkung dalam lingkaran pasrah.

Apa yang Ia Lakukan Sekarang?

  • Sardi tetap bekerja di pasar.
  • Ia menabung sedikit demi sedikit untuk membeli sepeda bekas agar bisa memperluas jangkauan kerja.
  • Ia juga mulai membantu di musala, bersih-bersih, sekadar mendekatkan diri pada masyarakat.

“Kalau bisa kerja tetap dan halal, walau jadi pembantu, saya terima. Asal kerja keras saya dihargai dan saya bisa makan layak tiap hari," harapnya.


Akhirnya, harapan Sardi tetap hidup

Khayalan berbaju safari bukan sekadar mimpi seorang pengangguran. Ia adalah simbol dari keinginan sederhana: hidup layak, dihargai, dan punya arah.

Sardi mungkin tak terkenal. Tapi di balik lelah dan debu pasar, ia menyimpan harapan besar: bahwa nasib bisa berubah jika diberi kesempatan.


“Saya belum menyerah. Saya hanya butuh satu pintu terbuka, " pungkasnya.

Dan barangkali, dari khayalan sederhana itu, satu pintu bisa benar-benar terbuka tapi asal ada yang peduli.

***

Sumber: BS.

×
Berita Terbaru Update