Breaking News

Dulu Aku Membentak, Kini Aku Menangis di Makamnya

Foto, ilustrasi (kejadian yang terjadi dalam penulisan artikel dengan judul "Dulu Aku Membentak Kini Aku Menangis di Makamnya".

Queensha.id - Cerita Inspiratif,

Dalam sunyi sebuah rumah kecil di pinggiran kota, seorang ibu menyelesaikan sajadahnya. Di ruang lain, anak laki-lakinya sedang bersiap kerja dengan langkah tergesa dan suara meninggi.

“Bu, udah deh! Jangan cerewet! Aku telat!”

Pintu dibanting. Pagi berlalu. Dan hari itu menjadi awal dari penyesalan panjang yang tak berkesudahan bagi Arif, anak semata wayang Bu Rahayu.

Cinta yang Tak Pernah Ia Jawab

Arif, 25 tahun, pekerja swasta dengan masa depan cerah. Tapi tak ada yang tahu bahwa di balik gajinya yang stabil, ia membawa hati yang mulai keras. Ia sering pulang larut, marah karena rumah tak rapi, dan enggan mendengar ocehan ibunya.

Padahal, nasi yang dimakannya setiap malam adalah hasil dari keringat ibunya—yang masih menyetrika baju tetangga secara diam-diam.

“Ibu gak minta dibalas. Ibu cuma pengen tetap merasa berguna,” kata Bu Rahayu suatu malam kepada tetangga.

Namun Arif tak pernah tahu. Ia sibuk bekerja. Sibuk membentak. Sibuk lupa.

Hari Terakhir yang Terlalu Biasa

Pagi itu, seperti biasa. Arif keluar rumah tanpa sarapan. Ibunya memanggil, tapi tak sempat didengar.
Saat pulang, ia menemukan rumah gelap. Tak ada suara. Tak ada nyala TV.
Di dekat dapur—ibunya tergeletak, tangan masih menggenggam sajadah.

Bu Rahayu pergi dalam diam.

Di saku bajunya, ada secarik kertas berisi tulisan gemetar:

“Arifku sayang, jangan biarkan hatimu keras terlalu lama. Kalau Ibu boleh minta satu… peluklah dunia dengan lebih lembut, ya, Nak.”

Makam, Dinding, dan Suara yang Tak Pernah Kembali

Sejak pemakaman, Arif berubah. Tak ada lagi bentakan. Tak ada lagi ego. Yang tersisa hanya sunyi yang menusuk. Ia sering berdiri di makam ibunya, berbicara lirih—seolah berharap tanah bisa membalas.

Ia menulis sebuah buku kecil berjudul "Maaf yang Tak Pernah Tersampaikan."
Buku itu kini jadi bahan renungan di berbagai komunitas remaja.

“Aku bukan motivator. Aku hanya anak yang gagal memahami cinta ibunya saat masih hidup,” ucap Arif dalam sebuah diskusi pemuda.

Satu Kalimat dari Anak Kecil yang Mengubah Segalanya

Beberapa waktu lalu, Arif mengajak anak-anak yatim dari panti asuhan berziarah. Salah satu dari mereka, bocah 7 tahun, bertanya polos:

“Kak, ibu Kakak tinggal di sini, ya?”
Arif mengangguk, matanya basah.
“Kalau gitu sekarang Kakak bikin ibu Kakak bahagia lagi dari sini.”

Kalimat sederhana itu seperti palu—menghantam dinding pertahanan terakhir di hatinya.

Menulis Bukan untuk Terkenal, Tapi untuk Menebus

Kini, Arif menulis setiap malam. Bukan untuk mencari pujian, tapi untuk menghapus dosa yang tak bisa ditebus dengan uang. Ia menulis tentang masa kecil, tentang piring nasi goreng yang diabaikan, dan tentang suara ibunya yang kini tak bisa dijawab.

Di samping fotonya bersama sang ibu saat TK, ia menempel satu kalimat:

“Orang baik itu bukan karena tak pernah marah. Tapi karena tahu kapan harus berhenti.”

Sebuah Pertanyaan untuk Kita Semua

Kisah Arif bukan satu-satunya. Di banyak rumah, mungkin ada seorang ibu yang diam-diam menangis, seorang ayah yang tak dihargai, atau seorang anak yang belum sempat mengatakan “Maaf” dan “Terima kasih”.

Pertanyaannya bukan berapa kali kita membentak,
tapi:
Sudahkah kita menjawab suara lembut mereka… sebelum suara itu benar-benar hilang?

***

Ditulis oleh: Al van Channel
Gambar oleh: Al van Channel
Berdasarkan kisah nyata yang terlalu sering terjadi di sekitar kita

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia