Queensha.id - Edukasi Sosial,
“Yang abadi bukan jabatanmu, bukan gelar akademismu, bukan kursi empuk yang kamu duduki hari ini. Yang abadi adalah sikapmu kepada orang-orang di sekitarmu.”
Kalimat ini belakangan menjadi sorotan publik. Sederhana namun tajam, terutama sebagai sindiran bagi sebagian pejabat daerah yang belakangan makin jauh dari rakyat. Setelah dilantik, tampilannya berubah drastis: yang dulu menyapa kini menghindar, yang dulu datang ke warung kini duduk di balik meja besar dengan ajudan di kiri-kanan. Padahal rakyat belum lupa: mereka yang memilih, mereka pula yang membayar gaji para pejabat itu.
Gajimu Itu Hasil Pajak dari Rakyat
Ya, gaji, tunjangan, mobil dinas, bensin, makan-minum rapat, semua itu dibiayai dari keringat rakyat. Dari tukang ojek yang bayar pajak STNK, dari pedagang kecil yang bayar retribusi lapak, dari guru honorer yang tetap bayar PPN saat belanja kebutuhan sekolah. Setiap rupiah yang masuk ke rekening pejabat berasal dari rakyat. Maka, wajar jika rakyat menuntut pelayanan, bukan penolakan.
Ironisnya, sebagian pejabat malah bersikap seolah-olah rakyat yang butuh mereka, bukan sebaliknya. Ketika diminta bertemu, mereka lempar jadwal. Ketika diminta solusi, mereka beri alasan. Ketika dikritik, mereka membalas dengan sombong.
Jabatan Itu Sementara, Jangan Gunakan untuk Merendahkan
Banyak pejabat lupa, bahwa kursi yang diduduki hari ini bersifat sementara. Bisa habis masa jabatan, bisa diganti, bisa dimakzulkan, bahkan bisa jatuh karena skandal. Namun sayangnya, yang sering abadi justru sikap buruknya kepada rakyat. Rakyat tidak akan ingat berapa proyek yang kamu resmikan, tapi mereka akan selalu ingat bagaimana kamu memperlakukan mereka — apakah kamu menyapa mereka saat turun ke desa, atau malah berjalan cepat menghindar demi ‘jadwal rapat yang penting’.
Sombong, Sok Sibuk, Banyak Alasan: Ciri Pejabat yang Lupa Tujuan Awal
Ciri-ciri pejabat yang sudah lupa daratan mudah dikenali:
1. Sulit ditemui rakyat.
2. Minta dilayani, bukan melayani.
3. Selalu membawa ajudan untuk menciptakan jarak.
4. Sering berkata “sudah kami proses” tanpa tindakan nyata.
5. Menanggapi kritik dengan emosi, bukan empati.
Mereka yang begini sering lupa bahwa masyarakat punya daya rekam kuat. "Pernah ketemu si pejabat itu? Iya, judes banget. Nggak mau dengerin orang desa kayak kita." Kalimat seperti itu akan terus bergema, bahkan saat mereka sudah tak lagi menjabat.
Etika dan Keteladanan Jauh Lebih Mulia daripada Gelar
Gelar bisa didapat dari kuliah. Jabatan bisa didapat dari pilkada. Tapi respek dari masyarakat hanya lahir dari sikap. Orang akan lebih hormat kepada pemimpin yang sopan, mendengar, dan jujur. Mereka tidak peduli apakah kamu lulusan luar negeri, tapi mereka peduli apakah kamu punya hati nurani.
Edukasi untuk Masyarakat: Pejabat Bukan Raja, Mereka Dibayar untuk Melayani
Masyarakat harus sadar bahwa pejabat bukanlah “atasan”. Mereka adalah pelayan masyarakat. Kita berhak bertanya, mengkritik, dan meminta penjelasan. Jangan ragu menyampaikan aspirasi. Bila pelayanan tidak berjalan semestinya, laporkan, dokumentasikan, dan jadikan bukti bahwa kita tidak buta dan tidak diam.
Untuk Para Pejabat: Sadarlah, Kau Bekerja Karena Rakyat
Ingatlah, kekuasaan itu bukan milikmu selamanya, dan uang yang kamu terima setiap bulan bukan berasal dari langit, tapi dari jerih payah masyarakat. Maka hormatilah mereka. Dengarkan. Hadir di tengah mereka bukan hanya saat kampanye, tapi saat mereka butuh kehadiranmu sebagai pemimpin.
Akhir kata, satu pesan sederhana untuk semua pejabat:
"Gajimu berasal dari rakyat, jabatannya sementara, tapi sikapmu akan dikenang selamanya, maka jadilah pemimpin yang melayani jangan sebagai penguasa yang lupa daratan."