Sidang lanjutan kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Wali Kota Semarang mengungkap fakta mencengangkan. Mantan Camat Gajahmungkur, Ade Bhakti Ariawan, secara terbuka mengaku pernah ikut mengantar penyerahan uang senilai Rp350 juta kepada aparat penegak hukum di Kota Semarang.
Dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Semarang pada Rabu (5/6), Ade menjelaskan bahwa dirinya diminta menemani Eko Yuniarto, mantan Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, menyerahkan uang kepada Kanit Tipikor Polrestabes Semarang dan Kasi Intelijen Kejari Kota Semarang.
“Pak Eko bilang uangnya dibagi, Rp200 juta untuk Kanit Tipikor dan Rp150 juta untuk Kasi Intel,” ungkap Ade di ruang sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Gatot Sarwadi.
Ade mengaku hanya menunggu di luar saat penyerahan uang di Polrestabes berlangsung. Sementara saat ke Kejari, ia datang terlambat. “Saya baru sampai, Pak Eko sudah dengan Pak Iman,” ujarnya merujuk pada Kasi Intelijen Kejari Kota Semarang.
Bermula dari Fee Proyek Penunjukan Langsung
Uang tersebut, menurut pengakuan Ade, berasal dari fee proyek penunjukan langsung di Kecamatan Gajahmungkur. Ia menyebut menerima Rp148 juta yang kemudian diserahkan ke Lina, staf dari PT Chimarder 777, perusahaan milik terdakwa Martono, Ketua Gapensi Semarang. Uang itu kemudian ditambah oleh Lina menjadi sekitar Rp180 juta, sebelum akhirnya diserahkan kepada aparat hukum.
Ade juga menyampaikan bahwa berdasarkan penuturan Eko, pemberian uang kepada aparat merupakan praktik rutin dalam pengelolaan proyek-proyek kecamatan.
Alwin Basri, Proyek Rp16 Miliar, dan Fee 13 Persen
Kesaksian Ade tidak berhenti di situ. Ia juga menyebut nama Alwin Basri, suami mantan Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu, sebagai pihak yang meminta agar proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan dikerjakan oleh Gapensi Semarang.
Permintaan itu disampaikan dalam sebuah pertemuan para camat di Kota Salatiga. Anggaran awal yang diminta sebesar Rp20 miliar, namun akhirnya disepakati menjadi Rp16 miliar.
“Para camat menyetujui karena Pak Alwin dianggap representasi dari Bu Wali,” ucapnya.
Terkait proyek tersebut, Ade juga mengonfirmasi adanya pemotongan fee sebesar 13 persen untuk diserahkan ke Martono. Namun, ia mengaku tidak tahu pasti ke mana fee itu dialirkan.
Bantahan Martono
Terdakwa Martono dalam sidang membantah keras tudingan bahwa ia memerintahkan pemberian uang kepada aparat hukum.
“Saya tidak pernah menyuruh memberikan uang. Itu untuk kebutuhan paguyuban, bukan atas permintaan saya,” tegasnya.
Sidang ini semakin memperjelas dugaan adanya jejaring kuat antara pejabat daerah, penegak hukum, dan pihak ketiga dalam pengelolaan proyek di lingkungan Pemkot Semarang. Proses hukum masih berjalan, namun kesaksian seperti yang disampaikan Ade Bhakti menambah daftar panjang persoalan integritas di balik pembangunan daerah.
0 Komentar