Queensha.id - Cerita Inspiratif,
“Orangtua tidak pernah menuntut. Tapi anak, seharusnya sadar diri.”
Itu kalimat yang sering terucap diam-diam dalam batin banyak anak, terutama mereka yang pernah melihat orangtuanya mengorbankan segalanya demi satu: gelar sarjana untuk anak-anaknya. Sebagian dari mereka mungkin memilih diam dan berpura-pura sukses. Sebagian lagi, seperti Septian dan Giri, tumbuh dengan rasa bersalah yang tak bisa mereka sembunyikan.
Ketika Ijazah Dibayar dengan Jerih Payah
Septian*, 23 tahun, adalah seorang pekerja pabrik di Kulon Progo, Yogyakarta. Ia tidak punya gelar sarjana, tetapi punya sepasang orangtua yang ia anggap telah “lulus” dari universitas pengorbanan.
Kakaknya, seorang perempuan, kini bekerja di perusahaan swasta di Jogja dengan gaji lumayan. Ijazah S1 miliknya, kata orang-orang, cukup untuk disebut sebagai tiket kesuksesan. Namun bagi Septian, ada yang ganjil. “Pernah saya tanya ke ibu, ‘Kakak ngasih pegangan nggak?’ Ibu cuma senyum, ‘Uangnya dia sendiri, nggak usah dimintain.’”
Padahal, menurut Septian, dulunya sang ibu harus menjual ternak bahkan tanah hanya demi membiayai kuliah sang kakak. Sementara sekarang, kedua orangtua itu tetap berjualan kecil dan berkebun di usia yang tak lagi muda.
“Aku tahu orangtua nggak minta apa-apa. Tapi... masa iya mereka dibiarkan jalan sendiri, setelah segala yang mereka korbankan?” ucapnya lirih.
Anak Sukses yang Menyimpan Kesuksesan Sendiri
Fenomena anak yang “menikmati sukses sendiri” setelah menjadi sarjana ternyata tak sedikit. Giri (25), seorang lulusan universitas negeri di Semarang, menyebutkan bahwa banyak temannya yang hidup dalam gaya hedon setelah dapat pekerjaan bagus. Tapi ketika ditanya, apakah mereka membantu orangtua? Jawabannya: tidak.
“Orangtua mereka juga bilang, ‘Kami nggak butuh, yang penting kamu bahagia’. Tapi bagi saya, itu justru jadi tamparan. Orangtua kita tuh jago pura-pura,” ujar Giri.
Giri baru sadar, setelah ia bekerja dan hidup mandiri, betapa besar perjuangan orangtuanya. Dulu saat masih kuliah, ia merasa wajar saja dibayari ini-itu. Tapi sekarang, ia tak ingin mengikuti jejak temannya yang sibuk memenuhi keinginan pribadi, sementara rumah sendiri masih berjuang.
“Aku malu kalau sampai lupa sama rumah. Aku kerja ya biar bisa balas sedikit. Mereka dulu juga nggak pernah makan enak, cuma biar aku bisa makan enak di rantau.”
Pura-Pura Sukses, Demi Harga Diri Orangtua
Tapi kisahnya tidak selalu sesederhana hitam-putih antara “anak lupa orangtua” atau “anak yang tahu balas budi”. Hayat (24), seorang sarjana dari Jakarta, justru punya cerita lebih rumit. Ia mengaku pada ibunya kalau gajinya Rp10 juta per bulan, padahal kenyataannya bahkan belum sampai standar UMK Depok.
“Aku bohong karena nggak mau ibu malu ke tetangga. Nggak mau mereka pikir aku gagal setelah kuliah tinggi,” akunya.
Bukan tidak ingin membantu. Tapi Hayat sendiri masih bertahan hidup dengan pas-pasan. Ia bahkan lebih sering menahan lapar demi bisa kirim sedikit uang ke rumah. “Jadi pura-pura sukses itu bukan karena sombong. Tapi karena nggak mau mereka khawatir.”
Menurut Hayat, banyak anak di usia 25-an yang hidup dalam jebakan standar sukses. Di luar tampak rapi dan tersenyum, padahal dalamnya penuh tekanan dan rasa gagal. Maka, satu-satunya cara yang tersisa adalah: menyembunyikan kenyataan, dan tetap terlihat “jadi anak kebanggaan”.
Realitas yang Sering Terlupakan
Fakta di balik ijazah seorang sarjana sering kali adalah cerita panjang tentang hutang, ternak yang dijual, hingga tanah yang berpindah tangan. Sayangnya, setelah lembaran ijazah itu berhasil dicetak dan dipasang di ruang tamu, banyak yang lupa betapa mahal harga yang telah dibayar.
Tak ada orangtua yang menagih, itu benar. Tapi bukan berarti anak boleh lupa.
Karena saat mereka memperjuangkan masa depan anak, mereka tidak pernah menuntut imbalan. Justru selalu memberi lebih dari yang mereka punya.
Kini, saat anak telah tumbuh dewasa dan bergelar sarjana, pertanyaannya bukan sekadar: “Sudah kerja di mana?” tapi juga: “Masihkah kau ingat siapa yang dulu menunggumu pulang dengan harap dan air mata?”
***
Catatan: Nama Septian disamarkan untuk menjaga privasi narasumber.
Sumber: Mojok.co.
0 Komentar