Queensha.id - Edukasi Sosial,
Tepian Danau Sidangka — Sebuah vila mewah berdiri anggun di pinggir danau yang jernih dan sunyi. Di dalamnya, seorang pengusaha sukses, pemilik belasan perusahaan dan investor di berbagai sektor, sedang berlibur untuk “menenangkan pikiran” dari hiruk-pikuk ibu kota. Namun, bukan keindahan alam yang menjadi pelajaran berharga di kunjungan itu. Melainkan sebuah obrolan singkat dengan pria sederhana di saung kayu pinggir dermaga.
Sang pengusaha, yang meminta namanya disamarkan, mengaku datang ke danau ini untuk mencari ketenangan. Namun, pikirannya masih tak bisa jauh dari obsesi kerja, pertumbuhan bisnis, dan target tahunan yang harus tercapai.
Di tengah jalan-jalan santainya, ia melihat seorang pria tua sedang bersandar santai di sebuah pondok kecil beratap rumbia. Pria itu menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi, memandang danau dengan damai dan seolah hidup tak lagi menuntutnya apa-apa.
Sang pengusaha mendekat, basa-basi, lalu bertanya:
“Bapak tidak bekerja siang-siang begini?”
Dan dari situlah percakapan aneh namun menggugah dimulai.
“Saya Hanya Bekerja Kalau Sudah Kehabisan”
Warga desa itu ternyata hanya bekerja sesekali. Ia mencari ikan hanya jika butuh makan, dan saat cukup, ia memilih bersantai.
Pengusaha, yang terbiasa menghitung waktu dengan nilai produktivitas, mencoba menyadarkan si warga akan “potensi besar” yang sedang ia sia-siakan. Baginya, waktu yang dihabiskan untuk bersantai adalah kerugian. Ia mulai menjelaskan bahwa dengan bekerja lebih keras, warga desa itu bisa mengail lebih banyak ikan, lalu mengembangkannya menjadi usaha besar, bahkan industri perikanan.
Namun, alih-alih terinspirasi, warga desa justru bertanya:
“Lantas, kalau sudah kaya raya, kenapa memangnya?”
Sang pengusaha menjawab antusias, “Supaya Bapak bisa hidup santai, gak usah kerja keras. Tinggal menikmati hidup.”
Warga desa tertawa. Ia menunjuk dirinya sendiri dan berkata, “Saya sekarang juga begitu, Pak. Nikmati hidup. Gak perlu sampai susah-susah.”
Paradoks Kemajuan dan Kebutuhan Manusia
Percakapan itu mungkin terdengar lucu. Namun, di balik tawa si warga desa, tersembunyi ironi besar: bahwa seluruh kerja keras sang pengusaha bertahun-tahun, kerja lembur, rapat nonstop, dan stres berkepanjangan — semua itu dilakukan demi bisa hidup seperti pria di depannya yang duduk bersantai tanpa beban.
“Waktu itu saya terdiam,” aku sang pengusaha kemudian. “Saya baru sadar, mungkin saya telah mengorbankan terlalu banyak hal... hanya untuk sesuatu yang sebenarnya sudah dimiliki orang lain.”
Psikolog budaya Dr. Fathur Rahman menilai, percakapan semacam itu mencerminkan dua cara pandang berbeda terhadap makna hidup.
“Yang satu menganggap hidup adalah perjuangan menuju puncak. Yang lain melihat hidup sebagai rangkaian hari untuk dijalani dengan syukur dan secukupnya,” ujar Fathur.
(Bukan) Motivasi: Tentang Pilihan Hidup
Dalam budaya modern yang menjunjung tinggi hustle culture dan glorifikasi kesuksesan, narasi warga desa semacam ini sering dianggap “pemalas”, “tidak punya visi”, atau “tidak ingin maju”. Tapi jika ditelusuri lebih dalam, mungkin yang mereka miliki justru sesuatu yang paling dicari: rasa cukup.
Tidak semua orang ingin menjadi pengusaha. Tidak semua orang ingin kaya raya. Dan tidak semua kemalasan adalah kegagalan. Kadang, ia adalah bentuk kesadaran paling jujur: bahwa hidup bukan sekadar kejar target, tapi belajar menikmati nafas yang ada, sebelum semuanya terlambat.
Di tepi danau itu, dua manusia bertemu. Satu membawa ambisi yang telah menempanya selama puluhan tahun. Satu lagi membawa ketenangan yang tidak dijual di toko mana pun. Keduanya sama-sama hidup dan hanya dengan cara yang berbeda.
Dan mungkin, tidak ada yang benar-benar lebih baik. Kecuali mereka yang bisa memilih jalannya dengan sadar.
Catatan redaksi:
Tulisan ini bukan untuk memotivasi Anda menjadi pengusaha, atau membenarkan kemalasan. Ini hanya cerita — tentang dua manusia, dan dua definisi bahagia yang sama sahihnya.
***
Sumber: BS.