Breaking News

Sekolah Lantai Tanah di Wajo Viral, Anak-anak Belajar di Bangunan Mirip Kandang Ternak

Foto, Sekolah Dasar Negeri 408 Ongkoe, dari pelosok Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. 


Queensha.id - Wajo, Sulawesi Selatan,

Sebuah potret menyedihkan dunia pendidikan Indonesia kembali mencuat. Kali ini datang dari pelosok Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Sekolah Dasar Negeri 408 Ongkoe viral di media sosial setelah kondisi bangunannya yang memprihatinkan tersebar luas—lantai tanah, dinding papan lapuk, dan sekat kelas yang hanya berupa lembaran kayu. Bangunan itu lebih mirip kandang ternak daripada institusi pendidikan.

Namun di balik rapuhnya bangunan itu, berdiri tegak 25 anak kecil dengan semangat belajar yang tak kalah kuat dari baja. Mereka datang setiap hari, sebagian besar berjalan kaki dari rumah mereka di Kabupaten Sidrap yang bertetangga, demi menyerap ilmu di bangunan yang disebut-sebut sebagai “Sekolah Laskar Pelangi” modern.

“Kalau bangunan utamanya bagus. Tapi karena jarak pemukiman siswa jauh dari sekolah induk, akhirnya dibuatlah kelas jauh ini,” kata Kepala Dinas Pendidikan Wajo, Alamsyah, Rabu (21/5/2025).



Anak-anak Perbatasan yang Terkucilkan

SD 408 Ongkoe ini bukanlah sekolah biasa. Ia adalah kelas darurat yang didirikan sekitar 15 tahun lalu, sebagai jawaban atas keterbatasan akses pendidikan anak-anak di wilayah perbatasan Wajo dan Sidrap. Ironisnya, dari 25 siswa yang mengisi kelas ini, hanya dua orang berasal dari Wajo. Sisanya, 23 anak adalah warga Sidrap, kabupaten tetangga yang secara administratif bahkan tidak menaungi sekolah tersebut.

"Karena kepala sekolah lama punya tanah di sana, dan pemukiman siswa lebih dekat ke situ, maka dibuatlah kelas darurat. Tapi tidak memenuhi syarat untuk pembangunan sekolah permanen karena jumlah siswanya kurang dari 60,” jelas Alamsyah.



Belajar di Tengah Sekat Papan dan Tanah Becek

Bayangkan tiga ruang kelas beralaskan tanah, dipisahkan papan tipis yang tak mampu meredam suara. Di sanalah enam kelas digabung menjadi tiga ruang belajar. Anak-anak duduk berjejal, berbagi ruang, berbagi papan tulis, namun tetap menyimpan harapan besar.

Tak ada tembok permanen. Tak ada lantai ubin. Tapi semangat anak-anak itu tetap menyala. Mereka tetap belajar membaca, menulis, dan berhitung, meski kadang harus bersaing dengan suara dari kelas sebelah atau hujan yang membasahi lantai tanah.

"Ketika kami kunjungi, proses belajar tetap berjalan. Kami tanya soal numerasi dan literasi, anak-anak mampu menjawab dengan baik,” tambah Alamsyah.



Langkah Pemerintah: Janji atau Solusi?

Setelah viral di media sosial, Dinas Pendidikan Wajo langsung turun ke lokasi. Hasilnya, siswa-siswa ini akan dikembalikan ke sekolah induk yang jaraknya lebih dari satu kilometer. Sebagai solusinya, pemerintah berjanji akan menyediakan sepeda bagi mereka agar tidak kesulitan menjangkau sekolah yang lebih layak.

Namun langkah ini menimbulkan tanya: benarkah itu solusi terbaik? Apakah memindahkan anak-anak dari satu realitas buruk ke kenyataan lain yang jauh dan melelahkan adalah bentuk keadilan dalam pendidikan?

"Kami sudah rapat dengan DPRD. Karena tak bisa dibangun sekolah baru, anak-anak akan kembali ke sekolah induk dan disiapkan sepeda,” ujar Alamsyah.



Kontras dengan Makassar yang Berkilau

Sementara itu, hanya beberapa ratus kilometer dari Wajo, Pemerintah Kota Makassar tengah bersiap meluncurkan tujuh program unggulan bertajuk Sapta MULIA. Di antaranya, seragam sekolah gratis, program bebas sampah, dan pembangunan Makassar Creative Hub. Kota besar itu kini menginjak 100 hari masa kerja wali kotanya dengan segudang rencana ambisius.

"100 hari ini bukan untuk menyelesaikan semua program, tapi memastikan arah kebijakan sudah sesuai jalur,” kata Sekda Makassar, Andi Zulkifly Nanda.


Tapi di pedalaman Wajo, anak-anak sekolah masih menginjak tanah basah, belajar dalam bangunan yang nyaris roboh, menunggu perhatian yang entah kapan datang.


Negeri ini seakan hidup dalam dua dunia. Di satu sisi, deretan program megah dan ambisius dikibarkan di kota besar. Di sisi lain, anak-anak di pelosok belajar di bangunan reyot, hanya demi sebuah harapan masa depan. Mereka tidak minta gedung bertingkat atau AC di kelas. Cukup dinding kokoh, lantai bersih, dan papan tulis yang layak. Apakah itu terlalu sulit untuk negeri sebesar Indonesia?

Karena pendidikan bukan soal viralnya sebuah bangunan reyot, tapi soal janji yang harus ditepati: keadilan untuk semua anak bangsa.

***

Sumber: IDN.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia