Foto: Iran Air (Iran Guidebook/Travel Blog by nelia shidfar) |
Queensha.id - Amerika Serikat,
Di layar radar USS Vincennes, satu titik kecil muncul dengan kecepatan tinggi. Di tengah tensi perang Iran-Irak yang melibatkan kekuatan militer Amerika Serikat (AS) di perairan Teluk Persia, titik itu dianggap sebagai potensi ancaman. Sayangnya, titik tersebut bukan jet tempur, melainkan pesawat komersial Iran Air Penerbangan 655 yang membawa 290 orang. Rudal AS menghancurkannya dalam hitungan detik. Tidak ada yang selamat.
Peristiwa ini bukan sekadar salah tembak. Ini adalah tragedi internasional yang menyingkap tabir bagaimana keputusan militer yang terburu-buru bisa menghapus ratusan nyawa tak berdosa — dan bagaimana sebuah negara adidaya memilih untuk tidak benar-benar mengaku salah.
Ketegangan Perang dan Tindakan Tanpa Ampun
Pada dekade 1980-an, Iran dan Irak tengah berseteru dalam perang berdarah. Meski tidak secara langsung terlibat, AS terang-terangan mendukung Irak. Untuk mengamankan jalur minyak dan kepentingan geopolitik, sejumlah kapal perang AS dan termasuk USS Vincennes yang dikomandoi Kapten William C. Rogers III hingga ditempatkan di wilayah sensitif, termasuk Selat Hormuz.
Dengan mandat untuk menghalau segala potensi ancaman dari Iran, Kapten Rogers bersikap agresif. Maka ketika radar menunjukkan keberadaan pesawat yang melintas, ia segera menganggapnya sebagai jet tempur F-14 milik Iran. Tanpa verifikasi memadai, pada pukul 10.24 waktu setempat, dua rudal Standard Missile ditembakkan. Target berhasil dihancurkan.
Namun beberapa menit kemudian, kabar mengejutkan datang. Pesawat itu bukan F-14. Itu adalah Iran Air 655, pesawat sipil Airbus A300 yang sedang dalam perjalanan dari Teheran menuju Dubai via Bandar Abbas. Dihubungi oleh menara pengawas Bandara Abbas, pesawat tak merespons karena memang sedang berada di jalur komersial yang legal dan bukan zona militer.
Dunia Menuntut Jawaban, AS Bungkam
Pesawat yang jatuh membawa 290 orang, termasuk 66 anak-anak. Seluruh penumpang dan kru tewas mengenaskan. Dunia pun berduka dan marah.
Namun sikap resmi AS sangat mengecewakan. Pentagon, dalam pernyataan awal, membela tindakan militer mereka. Mereka menyebut telah memberi peringatan kepada pilot, yang konon tidak menjawab. Bahkan Presiden AS saat itu, Ronald Reagan, tidak hanya mendukung tindakan Kapten Rogers, tetapi menyebutnya sebagai self-defense. Sebuah pembelaan diri, katanya.
Dalam laporan eksklusif Newsweek bertajuk Sea of Lies, disebutkan bahwa pesawat berada dalam jalur ketinggian yang sesuai rute komersial. Investigasi independen juga menyatakan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pilot pesawat menerima atau mengabaikan panggilan USS Vincennes. Lebih dari itu, perbedaan bentuk fisik Airbus A300 dan jet tempur F-14 seharusnya cukup mencolok untuk dikenali lewat radar.
Kompensasi Tanpa Permintaan Maaf
Setelah tekanan diplomatik dan kecaman dari berbagai negara, termasuk sekutu AS sendiri, akhirnya kasus ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Namun hasilnya tak benar-benar memuaskan. Amerika Serikat hanya setuju untuk membayar kompensasi sebesar US$ 61,8 juta kepada keluarga korban. Tapi tak pernah, sekalipun, menyampaikan permintaan maaf resmi.
Dalam pernyataan pers 4 Juli 1988, Laksamana William Crowe hanya menyampaikan “penyesalan” yang bukan pengakuan bersalah. Bagi Iran, itu adalah penghinaan.
Catatan Buram Sejarah Amerika
Bagi banyak kalangan, tragedi Iran Air 655 bukan hanya salah tembak, tapi lambang dari arogansi militer dan kebijakan luar negeri AS yang sering kali mengesampingkan kemanusiaan demi narasi keamanan.
Tragedi ini menyisakan luka dalam hubungan diplomatik Iran-AS yang belum pulih hingga kini. Lebih dari tiga dekade kemudian, insiden ini tetap jadi peringatan akan bahayanya keputusan militer yang gegabah, dan lebih dari itu, bahaya dari kekuasaan yang tak mau mengakui kesalahan.
Seperti kata jurnalis investigatif Robert Fisk, “Jika tragedi ini dilakukan negara lain terhadap pesawat Amerika, kita sudah menyebutnya sebagai terorisme. Tapi karena pelakunya adalah Washington, maka hanya disebut kesalahan teknis.”
Di langit Selat Hormuz, nyawa 290 orang melayang. Tapi yang benar-benar hilang pada hari itu, adalah rasa tanggung jawab dari negara yang mengaku sebagai penjaga perdamaian dunia.
***
Sumber: CNBC.
0 Komentar