Breaking News

Uleman: Tradisi Budaya atau Ladang Bisnis Baru di Jepara?

Foto, kolase. Tradisi Uleman.


Queensha.id - Jepara,

Tradisi adalah warisan yang tak ternilai. Namun, bagaimana jika warisan budaya itu bergeser makna menjadi ladang cuan? Inilah yang terjadi pada tradisi “Uleman” di beberapa wilayah pesisir utara Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara.

Mengenal tradisi dan budaya Pulau Jawa memang tak ada habisnya. Di antara ragam adat yang masih lestari, “Uleman” menjadi satu fenomena unik sekaligus menarik untuk diamati. Di Jepara, kondangan atau menghadiri hajatan dikenal dengan istilah “Uleman”, berasal dari kata ulem-ulem, yang artinya mengundang secara sopan.

Pada praktiknya, Uleman bukan sekadar hadir ke pesta pernikahan atau sunatan, tetapi juga membawa tanda tangan kehadiran berupa amplop berisi uang, kado, hingga satu slop rokok—khususnya bagi tamu laki-laki. Yang perempuan? Biasanya datang membawa baskom berisi gula atau beras, ditutup rapi dengan serbet makan.

Tradisi ini hidup subur di wilayah Karisidenan Pati, seperti Jepara, Kudus, Pati, bahkan hingga ke Demak dan Purwodadi. Dalam beberapa dekade terakhir, budaya ini berkembang menjadi semacam “tabungan sosial”. Jika seseorang rajin datang ke berbagai hajatan dengan membawa bingkisan atau kado, maka saat ia punya hajat sendiri, ia akan “dipotangi” alias dikembalikan bantuannya dalam bentuk serupa.

“Temenku yang rajin Uleman, trus pas nikah dapat 600 slop rokok. Kalau satu slop harganya Rp250 ribu, ya bisa dapet Rp150 juta,” ujar seorang warga Jepara sambil tersenyum.



Uleman dan Perputaran Rokok

Di Jepara bagian timur, seperti Desa Kuwasen hingga Kelet dan Kembang, kebiasaan membawa rokok satu slop menjadi identitas kuat budaya Uleman. Dulu, sekitar tahun 1980 hingga awal 2000-an, Djarum Super menjadi primadona. Namun, setelah 2005 hingga sekarang, merek Sukun mulai populer karena harganya lebih terjangkau.

Bahkan, saking banyaknya rokok hasil Uleman, tidak jarang lemari di rumah pengantin penuh dengan slop hingga dua lemari. Keesokan harinya, para pedagang kelontong datang membeli stok tersebut dengan harga sedikit di bawah pasaran. Uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli motor, membayar utang, bahkan uang muka mobil bekas.

“Ya mas, besok aku Uleman ke tiga tempat. Bawa rokok satu slop semua. Lumayan juga keluar duitnya,” ujar warga lain.


Dari Tradisi ke Potensi Bisnis

Namun, dalam lima tahun terakhir, ada fenomena baru yang menyita perhatian: Uleman dijadikan semacam model bisnis dadakan. Beberapa orang menyebarkan undangan ke puluhan bahkan ratusan orang, termasuk yang tak begitu dekat. Tujuannya? Mendulang sebanyak mungkin “potangan”.

Jika dulu undangan disebar ke lingkungan RT atau kenalan dekat, kini menyebar hingga media sosial, bahkan undangan terbuka via grup WhatsApp. Yang penting: datang dan bawa slop. Banyak yang mulai melihat Uleman bukan lagi sekadar simbol silaturahmi, tapi kesempatan “menabung instan” jelang pernikahan.

“Sekarang banyak yang sengaja undang banyak orang, padahal enggak dekat. Nanti pas hajatan, tinggal kumpulin slop rokok, dijual, langsung punya duit puluhan juta,” tambah warga.


Fenomena ini menimbulkan pro-kontra. Di satu sisi, Uleman masih dianggap bentuk gotong royong modern. Namun di sisi lain, ada yang menilai tradisi ini mulai disalahgunakan demi keuntungan pribadi.

Potangan: Tabungan Tak Tertulis

Dalam masyarakat Jepara, Potangan adalah istilah tak tertulis namun dipegang erat: siapa yang datang ke hajatan kita, wajib kita balas saat ia punya hajat. Jika tidak, bersiaplah jadi bahan omongan, bahkan “diboikot” sosial di acara mendatang.

Namun, ketika semangat Potangan mulai berubah arah, dari nilai sosial menjadi strategi ekonomi, maka patut kita bertanya: apakah ini bentuk adaptasi tradisi dengan zaman, atau penyimpangan makna budaya?


Tradisi Uleman di Jepara sejatinya mencerminkan nilai luhur masyarakat: gotong royong, saling bantu, dan menjaga hubungan sosial. Tapi dalam arus zaman yang cepat, makna bisa bergeser. Uleman bisa jadi berkah, bisa pula jadi jebakan.

Di tengah semua itu, satu hal yang pasti: budaya hidup karena dijaga nilainya, bukan hanya dimanfaatkan bentuknya.

***

Sumber: BS.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia