Breaking News

Vonis Ringan Penembakan Guru Madrasah di Jepara, Publik Geram: Hukum Kehilangan Nurani

Foto, Praktisi hukum asal Jepara, Nur Said, S.H., M.H., CPM, seorang advokat sekaligus pengamat hukum.

Queensha.id - Jepara,

Putusan Pengadilan Negeri Jepara atas kasus penembakan terhadap seorang guru madrasah di Desa Buaran, Kecamatan Mayong, kembali memunculkan tanya besar soal keberpihakan hukum di negeri ini. Terdakwa Mar’i Muhammad Riza divonis hanya 16 bulan penjara, meskipun terbukti melakukan penembakan dengan senjata jenis airgun yang menyebabkan luka dan trauma berkepanjangan pada korban.

Vonis tersebut dinilai terlalu ringan oleh banyak kalangan, bahkan dianggap mencederai rasa keadilan publik. Ironisnya, dari total hukuman tersebut, tujuh bulan telah dijalani selama masa tahanan, menyisakan hanya sembilan bulan ke depan.

“Ini bukan sekadar perkara vonis, ini perkara moral bangsa,” ujar Nur Said, S.H., M.H., CPM, seorang advokat sekaligus pengamat hukum. “Jika seorang guru—simbol pencerdasan bangsa—bisa ditembak dan pelakunya hanya dihukum 16 bulan, maka pesan apa yang ingin disampaikan oleh hukum kita kepada masyarakat?”

Antara Hukum dan Nurani

Majelis hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 dan Pasal 351 Ayat (2) KUHP tentang penganiayaan. Namun pertanyaan mengemuka: Mengapa ancaman hukuman maksimal 20 tahun hanya dijatuhkan 16 bulan?

Lebih miris lagi, sidang pembacaan putusan berlangsung secara daring. Tidak ada kehadiran keluarga korban maupun pelaku, sehingga atmosfer sidang terasa dingin dan jauh dari transparansi publik.

“Guru yang tertembak kini menanggung trauma, sedangkan pelaku hanya menanggung ‘sembilan bulan ke depan’. Ini jelas tidak adil,” tambah Nur Said.

Vonis yang Menyesakkan

Tak hanya soal lamanya hukuman, publik juga dibuat geram oleh keputusan pengembalian barang bukti kepada terdakwa. Mobil mewah dan ponsel pribadi dikembalikan, sementara korban hanya menerima motor rusak dan pakaian robek. “Vonis ini seperti ingin berkata bahwa keselamatan guru tidak sebanding dengan nilai aset pelaku,” kritik Nur Said lebih lanjut.

Kritik terhadap Penegak Hukum

Nur Said juga menilai jaksa dan majelis hakim kehilangan sensitivitas sosial. “Harusnya perkara ini dilihat secara lebih luas: soal iklim pendidikan, rasa aman guru, dan efek domino terhadap dunia pendidikan. Bukan hanya aspek formalitas pasal,” tegasnya.

Menurutnya, integritas lembaga peradilan kini dipertaruhkan. Bila hukum hanya berpijak pada teks tanpa nurani, maka ia akan kehilangan daya gigit, dan masyarakat akan semakin apatis terhadap keadilan.

Ajakan Moral dan Revisi Perspektif

“Kita tak bisa terus membiarkan hukum kehilangan nuraninya. Jika jaksa dan hakim tak berani bicara untuk kebenaran, maka publiklah yang harus bersuara lebih keras. Karena keadilan sejati lahir dari keberanian, bukan sekadar prosedur,” tutup Nur Said dalam pernyataan tegasnya.

Kini, masyarakat Jepara dan Indonesia menanti. Bukan hanya perubahan sistem, tetapi juga pertanggungjawaban moral dari para penegak hukum. Sebab jika rasa keadilan terus dikhianati, maka lambat laun, kepercayaan publik pun akan menguap — dan itu adalah kerugian terbesar bagi negara hukum.

***

Sumber: G7/AR.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia