Foto, ilustrasi. Seorang suami yang keras dan emosian yang marah-marah ke istrinya. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Banyak perempuan yang menghadapi pasangan bersikap keras: suara tegas, ekspresi marah yang cepat, hingga kecenderungan emosional yang sulit diredam. Alih-alih membalas dengan kekerasan atau kekerasan verbal, pendekatan berlawanan dan kelembutan, kepatuhan yang sehat, dan kasih sayang yang seringkali disebut lebih efektif untuk meredakan ketegangan rumah tangga.
Fenomena ini bukan sekadar mitos rumah tangga. Dalam praktiknya, dinamika kekerasan dan kekerasan timbal balik justru sering memperparah konflik. Seorang perempuan yang membalas dengan nada sama kerap memicu eskalasi: perabotan dilempar, pintu dibanting, kata-kata tajam terlontar, hingga luka emosional yang sulit disembuhkan.
Mengapa laki-laki “terlihat” lebih keras?
Para pengamat menyebut ada campuran faktor biologis, sosial, dan budaya yang membentuk perilaku maskulin di masyarakat kita. Laki-laki dewasa kerap menghadapi tekanan kerja, harapan untuk menjadi “kuat”, dan norma sosial yang mengagungkan dominasi. Akibatnya, cara mereka mengekspresikan stres bisa muncul sebagai kekerasan baik pada nada suara, gestur fisik, maupun keputusan yang otoriter di rumah.
Namun kekerasan bukan tak bisa dilunakkan. Pendekatan yang mengedepankan rasa aman emosional bagi pasangan dan komunikasi yang jelas seringkali membuka pintu perubahan.
Strategi melunakkan hati pasangan yang keras (bukan manipulasi)
Praktik yang disarankan para konselor dan terapis keluarga menekankan pada beberapa langkah praktis:
- Kelembutan yang konsisten: Menunjukkan perhatian tanpa sinis atau provokasi. Sentuhan, kata-kata menenangkan, dan nada bicara lembut dapat meredakan amarah sesaat.
- Komunikasi asertif, bukan agresif: Menyampaikan perasaan dengan jelas, misalnya “Aku merasa takut ketika pintu dibanting”, tanpa menyalahkan.
- Batasan tegas dengan kasih: Kepatuhan bukan berarti menerima kekerasan. Menetapkan batas mis. menolak kekerasan fisik atau verbal adalah bentuk cinta kepada diri sendiri dan keluarga.
- Mencari akar masalah: Seringkali kekerasan berakar dari tekanan finansial, trauma masa lalu, atau gangguan kesehatan mental. Mengajak pasangan untuk konseling atau pemeriksaan profesional bisa jadi langkah penting.
- Perkuat jejaring dukungan: Keluarga, tokoh agama, dan konselor dapat menjadi mediator yang menenangkan konflik.
Pernyataan pengamat sosial terkemuka
“Dalam konteks sosial Indonesia, kita melihat bahwa peran gender tradisional masih kuat. Laki-laki didorong untuk menampilkan otoritas; perempuan kerap ditempatkan pada posisi memelihara keharmonisan. Namun menjaga keharmonisan bukan berarti menutup mata terhadap kekerasan. Kelembutan efektif ketika dipraktikkan bersama batasan yang jelas—bukan sebagai bentuk penyerahan diri, melainkan strategi relasional yang cerdas," Pernyataan seorang pengamat sosial terkemuka di Jakarta (parafrase pendapat ahli).
Tanggapan ulama terkemuka di Indonesia
“Dalam ajaran agama, keluarga dibangun atas kasih sayang, saling melayani, dan tanggung jawab. Suami yang bersikap keras tetap harus diingatkan bahwa kewajiban memimpin keluarga harus dijalankan dengan kasih, bukan dengan ketakutan. Istri juga dianjurkan menunjukkan kelembutan dan kebaikan, tetapi bukan untuk menjadi korban. Jika terjadi kekerasan, langkah perlindungan, nasehat keluarga, dan bila perlu intervensi pihak yang berkompeten adalah hal yang dianjurkan," Pernyataan seorang ulama terkemuka (ringkasan perspektif keagamaan yang umum).
Catatan penting untuk perempuan yang mengalami kekerasan
Kelembutan dan komunikasi adalah strategi yang bisa dicoba—tetapi kekerasan fisik atau ancaman tidak boleh ditoleransi. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal berada dalam bahaya, segera cari bantuan: keluarga, tokoh agama, layanan konseling, atau aparat penegak hukum. Melunakkan hati pasangan bukan berarti mengabaikan keselamatan diri.
Jadi, untuk melunakkan hati pasangan yang keras bukan trik manipulatif, melainkan perpaduan antara kelembutan yang konsisten, komunikasi asertif, dan batasan tegas. Di samping itu, ketika pola kekerasan berulang, solusi profesional dan perlindungan hukum harus segera menjadi prioritas demi keselamatan dan kehormatan keluarga.
***