Foto, ilustrasi. Terjadinya percekcokan antara suami dan istri dalam rumah tangga. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Dalam kehidupan rumah tangga, sering kali tanpa disadari pasangan suami-istri memperlakukan hubungannya seperti transaksi jual beli. Kalimat tak terucap, “Kamu jual, aku beli,” menjadi racun yang perlahan merusak fondasi rumah tangga. Masing-masing merasa paling berkorban, paling capek, paling peduli, bahkan paling benar.
Konflik pun kerap berulang. Saat pasangan marah, dibalas dengan kemarahan yang sama. Saat istri diam karena terluka, tak ada suami yang berusaha menenangkan. Begitu juga ketika lelah, alih-alih saling membantu, justru beradu siapa yang lebih lelah. Ego seperti berlomba, gengsi tak mau kalah.
Padahal, dalam rumah tangga bukan soal siapa yang menang dan siapa yang kalah. Jika yang ditinggikan hanya ego dan emosi, maka pemenang sejatinya adalah perpisahan.
Butuh Komunikasi dan Rasa Mengerti
Psikolog keluarga menilai, inti dari persoalan rumah tangga sering kali bukan masalah besar, melainkan kegagalan komunikasi. Saat terjadi konflik, pasangan cenderung mencari pembenaran diri sendiri, alih-alih saling mendengar.
“Ingatlah, ketika pasangan tidak sesuai ekspektasi, yang dibutuhkan hanya saling komunikasi dan saling mengerti, bukan gengsi,” kata DF salah satu konselor pernikahan.
Pasangan juga butuh jeda, ruang untuk menjaga kewarasan, bukan ditumpuk dengan pengabaian atau kebencian. Suami maupun istri dituntut menjadi air saat pasangannya berapi-api, menjadi sahabat saat pasangan butuh nasihat, dan menjadi teman terbaik saat pasangan membutuhkan bantuan.
Menurut Pandangan Islam
Dalam ajaran Islam, rumah tangga disebut sebagai mitsaqan ghalizha atau perjanjian yang kuat. Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 21:
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang."
Ayat ini menegaskan, tujuan pernikahan adalah menghadirkan ketenteraman, bukan persaingan. Rasulullah SAW pun memberi teladan sebagai suami yang penuh kelembutan, membantu pekerjaan rumah, dan mencontohkan komunikasi yang baik dengan istrinya.
Ulama juga menekankan pentingnya musyawarah dalam rumah tangga. Jika terjadi perselisihan, suami-istri dianjurkan untuk saling menasihati dengan lembut, mengendalikan amarah, dan tidak saling menyakiti. Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Sulit Bukan Mustahil
Tak sedikit orang yang berkomentar, “Ngomong saja mudah, prakteknya sangat sulit.” Benar adanya, menjaga keharmonisan memang tak sederhana. Namun sulit bukan berarti mustahil.
Rumah tangga adalah proses panjang, di mana dua insan belajar menjadi satu. Visi yang dibangun adalah “sesurga bersama.” Dan surga, tentu bukan hal mudah untuk diraih. Butuh kerja sama, bukan perjuangan satu pihak saja.
Pada akhirnya, rumah tangga bukanlah kompetisi untuk membuktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Tetapi perjalanan bersama untuk menjadi lebih baik, saling meredam ego, dan menguatkan cinta di tengah badai kehidupan.
***