Foto, salah satu ruangan untuk rapat kerja di kantor UIPM Indonesia. |
Queensha.id - Jakarta,
Universal Institute of Professional Management (UIPM), lembaga pendidikan internasional berbasis online learning yang berafiliasi dengan UNECOSOC PBB, memberikan tanggapan tegas atas diskusi publik di program Ruang Konsensus yang menghadirkan Zulfan Lindan bersama pakar pendidikan internasional, Ina Liem.
Topik yang mencuat, yakni kontroversi ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dinilai UIPM sebagai bentuk nyata politisasi ijazah yang justru merugikan dunia pendidikan dan mengaburkan esensi kompetensi.
UIPM: Esensi Pendidikan adalah Kompetensi
UIPM menekankan bahwa ijazah sejatinya hanyalah instrumen administratif, sementara kompetensi nyata merupakan substansi pendidikan.
“Dalam konteks global, perusahaan, lembaga internasional, dan institusi pendidikan lebih menekankan what you can do daripada what diploma you have. Karena itu, menjadikan ijazah sebagai alat politik justru menghambat kemajuan bangsa,” tegas Prof. Dr. Rantastia Nur Alangan, CEO UIPM, Minggu (28/9) melalui sambungan telepon.
Sistem Pendidikan Internasional Harus Dipahami
Sejalan dengan pemaparan Ina Liem, UIPM menilai kesalahpahaman publik kerap muncul akibat minimnya literasi mengenai sistem pendidikan luar negeri.
Di Singapura, misalnya, jalur pendidikan tidak mengenal format SMP–SMA seperti di Indonesia. Setelah lulus O-Level, siswa bisa melanjutkan ke A-Level, foundation, atau diploma sebelum masuk universitas. Semua jalur tersebut sah secara akademik dan diakui dunia internasional.
“Tugas lembaga pendidikan seperti UIPM adalah menjembatani pengetahuan ini agar masyarakat lebih memahami keragaman sistem pendidikan global,” tambah Rantastia.
Bahaya Ijazahisme di Indonesia
UIPM menyoroti fenomena “ijazahisme” atau pemujaan berlebihan terhadap gelar akademik. Menurut UIPM, budaya ini memiliki dampak serius:
- Mendorong praktik jual beli ijazah dan plagiarisme.
- Menjadikan pendidikan sekadar formalitas status sosial.
- Menghambat pembangunan budaya meritokrasi berbasis kompetensi.
“Jika bangsa ini terus terjebak pada ijazahisme, maka generasi muda akan kehilangan orientasi belajar yang sejati: penguasaan ilmu dan kontribusi nyata,” ujar Prof. Dr. Sheryll Francisco, President UIPM Philippines.
Ajakan UIPM
Sebagai lembaga pendidikan internasional, UIPM menyerukan langkah kolektif untuk mengakhiri polemik ijazah yang tidak sehat:
- Masyarakat → Lebih kritis dalam menyaring informasi, tidak mudah terjebak disinformasi.
- Negara & aparat hukum → Menindak politisasi dan hoaks terkait ijazah.
- Dunia pendidikan → Menanamkan budaya project-based learning dan rekrutmen berbasis kompetensi.
Jadi, diskusi Zulfan Lindan dan Ina Liem dianggap UIPM sebagai momentum refleksi penting bagi bangsa. Menurut UIPM, kontroversi ijazah Gibran bukanlah persoalan akademik, melainkan semata-mata bentuk politisasi.
Solusi bagi bangsa ini jelas: tinggalkan budaya “ijazahisme” dan bangun budaya kompetensi, inovasi, serta integritas.
“Pendidikan sejati adalah proses membentuk manusia yang berdaya saing global, bukan sekadar menghasilkan ijazah,” tutup Prof. Dr. Rantastia Nur Alangan.
***
Sumber: RNA.
Pewarta: VR.