Foto, diduga, mas Plecit atau bank Plecit atau koperasi simpan pinjam (tanpa nama) di wilayah kabupaten Jepara. Sumber foto: Siti Sulastri. |
Queensha.id - Jepara,
Di berbagai sudut wilayah Kabupaten Jepara, fenomena “mas plecit” atau bank plecit kian marak dibicarakan warga. Istilah ini merujuk pada praktik pinjaman uang tanpa izin resmi dari lembaga keuangan pemerintah maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sekilas, kemunculan mereka tampak seperti sosok penolong di tengah kesulitan ekonomi masyarakat. Dengan proses pencairan uang yang cepat—hanya bermodal KTP dan alamat jelas—banyak warga tergoda untuk meminjam tanpa berpikir panjang.
Namun di balik kemudahan itu, tersimpan jerat bunga tinggi yang mencekik. Rata-rata bunga yang ditetapkan oleh bank plecit bisa mencapai 10 hingga 20 persen, bahkan lebih jika telat membayar. Akibatnya, banyak warga terjerat utang menumpuk, bahkan ada yang berakhir dengan ancaman, penggerebekan, hingga kejar-kejaran di jalanan.
Ciri Khas ‘Mas Plecit’
Para pelaku bank plecit biasanya memiliki penampilan khas yang mudah dikenali masyarakat, antara lain:
- Mengenakan helm hitam,
- Masker hitam,
- Jaket hitam dan lainnya,
- Celana bahan warna hitam,
- Sepatu dan kaos kaki hitam,
- Mengendarai sepeda motor Honda Supra X keluaran tahun 2020–2025.
Kehadiran mereka di kampung-kampung sering dianggap seperti “Superman” bagi masyarakat yang butuh uang mendadak. Namun, kebaikan di awal sering berubah menjadi tekanan di kemudian hari.
Tanggapan Pengamat Sosial Jepara
Menanggapi fenomena ini, Pengamat Sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, memberikan pandangan kritis.
“Fenomena bank plecit di Jepara ini menunjukkan lemahnya literasi keuangan masyarakat. Mereka lebih tergiur pada kemudahan meminjam uang daripada memahami risikonya,” ujar Purnomo kepada Queensha Jepara, Selasa (8/10/2025).
Menurutnya, kemunculan para mas plecit ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial.
“Banyak dari mereka yang akhirnya mengalami stres, kehilangan harta benda, bahkan rumah tangganya hancur karena tekanan utang. Ini bukan sekadar pinjaman uang, tapi sudah jadi lingkaran sosial yang berbahaya,” tambahnya.
Purnomo juga menyoroti pentingnya peran pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk menindak koperasi atau individu yang menjalankan praktik pinjaman tanpa izin resmi.
“Pemerintah perlu turun tangan memberi edukasi keuangan kepada masyarakat desa dan menutup akses bagi koperasi ilegal. Masyarakat harus diarahkan ke lembaga keuangan resmi seperti BPR atau koperasi yang terdaftar di Dinas Koperasi,” tegasnya.
Selain itu, Purnomo mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam mencari solusi keuangan.
“Bagi masyarakat yang membutuhkan dana, sebaiknya mengakses lembaga resmi dan terpercaya seperti Bank BRI dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Bank Jateng, Koperasi Merah Putih, atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Lembaga-lembaga ini menyediakan pinjaman tanpa agunan, khususnya untuk modal kecil, dan jauh lebih aman dibanding praktik rentenir yang merugikan,” pesannya.
Fenomena mas plecit menjadi cermin bahwa masih banyak warga yang terdesak kebutuhan ekonomi tanpa akses pinjaman yang sehat.
Solusinya, edukasi dan pengawasan menjadi kunci agar warga Jepara tak lagi terjerat dalam jeratan utang yang menyesakkan.
***
Queensha Jepara
Selasa, 8 Oktober 2025