Notification

×

Iklan

Iklan

Heriyanto Pemilik PH Shandika, Putra Tokoh Jurnalistik yang Kini Dihantam Kontroversi Xpose Uncensored Trans7

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 01.37 WIB Last Updated 2025-10-17T18:38:34Z

Foto, kolase logo Production House dan tayangan program Xpose Uncensored Trans7.

Queensha.id - Jakarta,


Nama Heriyanto, pemilik Shandhika Widya Cinema, kini menjadi perbincangan hangat di dunia media Indonesia. Rumah produksi miliknya diketahui menjadi pembuat program kontroversial Xpose Uncensored Trans7 yang merupakan tayangan yang memicu kemarahan publik lantaran dianggap melecehkan ulama dan pesantren.


Namun, di balik sorotan tajam terhadap kasus ini, tersimpan kisah menarik tentang akar keluarga Heriyanto. Ia ternyata bukan sosok baru dalam dunia media. Heriyanto adalah putra dari almarhum Pollycarpus Swantoro, seorang tokoh pers legendaris dan pengajar dalam Karya Latihan Wartawan (KLW) yang digagas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada era 1970-an.



Jejak Emas Sang Ayah di Dunia Jurnalistik


Pollycarpus Swantoro dikenal luas sebagai jurnalis intelektual dengan wawasan sejarah, filsafat, dan komunikasi yang mendalam. Ia mengajar dalam program KLW bersama para tokoh besar pers seperti Rosihan Anwar, Jacob Oetama, dan Harmoko.


“Pak Swantoro termasuk pengajar favorit. Ilmunya segudang… membuat kita hanyut masuk ke kedalaman pengetahuannya,” tulis wartawan senior Ilham Bintang dalam kolomnya di Kumparan.


Swantoro dikenal bukan hanya karena pengetahuannya yang luas, tetapi juga karena ketenangan dan kebijaksanaannya dalam mengajarkan etika jurnalistik — sebuah nilai yang kini dianggap langka di tengah arus cepat dunia media modern.



Heriyanto, Pewaris Dunia Media


Warisan intelektual itu rupanya menurun kepada sang anak. Menurut kesaksian beberapa rekan sejawat, Heriyanto dikenal sebagai sosok tenang, rendah hati, dan berdedikasi tinggi terhadap profesinya. Ia melanjutkan jejak keluarga dengan mendirikan Shandhika Widya Cinema, sebuah rumah produksi yang banyak melahirkan program infotainment populer di televisi nasional.


Salah satu karya besarnya adalah program “Kabar Kabari” di RCTI yang tayang sejak tahun 1996. Program itu dikenal sebagai pionir infotainment di Indonesia, membuka era baru dalam pemberitaan selebritas yang dikemas ringan dan informatif.



Dari Kesuksesan ke Kontroversi


Namun, perjalanan panjang itu kini diwarnai ironi. Rumah produksi yang didirikan atas semangat jurnalisme justru terseret dalam kontroversi program Xpose Uncensored Trans7. Tayangan tersebut dinilai publik menyudutkan ulama dan lembaga pesantren, hingga memicu gelombang protes dari kalangan santri dan organisasi keagamaan.


“Yang menyedihkan, program itu justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dahulu diajarkan oleh ayahnya,” ungkap seorang kolega Heriyanto yang enggan disebutkan namanya. “Padahal, Heriyanto sering membahas pentingnya etika dan keseimbangan dalam pemberitaan.”



Trans7 Putus Kerja Sama


Menanggapi kemarahan publik, Trans7 telah secara resmi memutus kerja sama dengan Shandhika Widya Cinema pada 14 Oktober 2025.


Direktur Utama Trans7, Atiek Nur Wahyuni, menjelaskan bahwa langkah itu diambil sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan.


“Program tersebut diproduksi oleh pihak eksternal, bukan oleh tim internal Trans7. Namun kami tetap bertanggung jawab atas kelalaian dalam proses penyiarannya,” ujar Atiek dalam audiensi di Senayan.



Antara Warisan dan Tanggung Jawab


Kisah Heriyanto menjadi refleksi penting bagi dunia media hari ini: bahwa warisan jurnalistik bukan hanya soal kemampuan membuat konten, tetapi juga menjaga nurani dan tanggung jawab sosial.


Sebagaimana yang pernah diajarkan Pollycarpus Swantoro, “Menulis bukan untuk menghakimi, tapi untuk memberi terang.”


Sebuah pesan lama yang kini terasa relevan di tengah hiruk pikuk media yang sering lupa pada makna etika.


***

(Queensha Jepara, 17 Oktober 2025)

×
Berita Terbaru Update