Notification

×

Iklan

Iklan

KH. Ahmad Fauzan, Ulama-Umara Jepara yang Menyatukan Tradisi dan Modernitas

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 21.44 WIB Last Updated 2025-10-04T14:46:22Z

Foto, KH. Ahmad Fauzan (1905 - 1972).

Queensha.id - Jepara,


Dalam catatan sejarah Islam Indonesia, Jepara bukan hanya dikenal sebagai kota ukir, melainkan juga kota yang mengukir peradaban keulamaan. Dari tanah inilah lahir KH. Ahmad Fauzan (1905–1972), sosok ulama, organisator, sekaligus birokrat yang menyatukan tiga arus besar dalam diri seorang santri: keilmuan, perjuangan, dan pengabdian.


Haul ke-53 yang digelar di pemakaman Suromoyo, Bangsri, pada 5 Oktober 2025, menjadi momentum mengenang lahirnya model kepemimpinan ulama-umara. Sebuah gaya kepemimpinan yang mengilhami lahirnya Islam Jepara yang berkarakter, moderat, dan terbuka.



NU Jepara dan Tahun 1952


Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Jepara sekaligus Kepala Kantor Kementerian Agama Jepara kedua (1952), KH. Fauzan menghadirkan diri sebagai ulama yang tidak alergi pada birokrasi, dan birokrat yang tidak tercerabut dari spiritualitas pesantren.


Tahun 1952 menjadi penanda penting dalam sejarah politik Islam ketika NU memisahkan diri dari Masyumi. KH. Fauzan memaknai langkah itu bukan sekadar perbedaan politik, tetapi sebagai penegasan identitas peradaban Islam ala Nusantara—Islam yang berpijak pada tradisi, namun terbuka pada perubahan.


Dalam kapasitasnya sebagai Rais Syuriyah pertama NU Jepara, ia memadukan struktur organisasi modern dengan tradisi salafiyah yang kokoh. Kepala KUA di tiap kecamatan ia pilih dari kalangan tokoh agama yang menguasai kitab klasik, lalu ia bentuk menjadi Syuriyah MWCNU. Sebuah langkah yang menyatukan fungsi negara dan dakwah dalam satu tarikan nafas.



Warisan Ba‘alawi dan Darah Perjuangan Diponegoro


Dari garis ibundanya, Nyai Thohiroh, KH. Fauzan mewarisi keturunan Ba‘alawi Hadhramaut asal Aden, Yaman. Sementara dari ayahnya, KH. Abdurrasul, beliau mewarisi darah juang KH. Ahmad Sanwasi, panglima pasukan Pangeran Diponegoro.


Jalur nasab ini bertemu dengan KH. Sholeh Darat Assamarany, guru KH. Hasyim Asy‘ari dan KH. Ahmad Dahlan. Artinya, jejaring keilmuan KH. Fauzan berhubungan langsung dengan dua tokoh pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah.



Santri Kasingan dan Pendidikan Modern


Masa mudanya ia habiskan di Pesantren Kasingan, Rembang, berguru kepada KH. Kholil Harun. Dari sini, ia mewarisi tradisi tafsir, hadis, dan fiqih dengan sanad klasik.


Usai nyantri, KH. Fauzan mendirikan madrasah di Bangsri dengan sistem berjenjang yang menggabungkan ilmu agama dan pengetahuan umum. Pola ini meniru model Madrasah Qudsiyyah Kudus, cikal bakal pendidikan Islam modern di Jawa.



Ulama Penulis dan Seniman Dakwah


KH. Fauzan juga dikenal sebagai ulama penulis nadzam dan syi‘ir untuk media dakwah. Syair-syairnya memadukan tauhid, etika sosial, dan cinta tanah air, dengan irama lokal yang mudah diterima masyarakat. Dari sini tampak bagaimana beliau menjadikan seni sebagai pintu dakwah yang lembut dan komunikatif.


Dalam kepemimpinannya di Kementerian Agama, ia menanamkan prinsip bahwa administrasi agama adalah ibadah sosial. Baginya, birokrasi tidak boleh tercerabut dari moralitas. Model kepemimpinan ini melahirkan birokrasi beradab—cermin Islam Nusantara yang melayani, bukan sekadar memerintah.



Warisan Diaspora dan Santri Global


Dari pernikahannya, KH. Fauzan dikaruniai 13 putra-putri yang kini tersebar di Indonesia, Kanada, dan Australia. Mereka menjadi dosen, birokrat, penulis, serta aktivis yang membawa etos orangtua dan kakeknya: menjadikan ilmu dan akhlak sebagai wajah Islam Indonesia di dunia.


Di Kanada dan Amerika Serikat, keluarga Mbah Fauzan menjadi penggerak pengajian PCINU, sementara di Australia generasi cucunya aktif dalam riset Islam dan kebudayaan. Jepara pun kini hadir dalam wacana Islam global melalui diaspora santri Fauzan.



Pesan Kepada Generasi


Menurut Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus peneliti LTN NU MWCNU Nalumsari, KH. Fauzan adalah representasi ulama-umara Jepara. Ia membuktikan bahwa tradisi dan modernitas bukan untuk dipertentangkan, melainkan dijembatani. Dari beliau kita belajar bahwa keilmuan, perjuangan, dan pengabdian bisa berpadu dalam satu pribadi.


Lebih dari setengah abad setelah wafatnya, jejak KH. Ahmad Fauzan masih hidup di madrasah, langgar, hingga komunitas diaspora. Dari Bangsri, pesan beliau bergema: tradisi tidak harus bertentangan dengan modernitas, dan santri bisa hadir di tengah dunia dengan membawa wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.


***

×
Berita Terbaru Update