Foto, Siswa-siswi makan bergizi gratis. |
Queensha.id - Jakarta,
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sejatinya memiliki tujuan mulia: meningkatkan gizi anak bangsa. Namun, istilah “investasi di MBG” yang belakangan muncul dalam pernyataan pejabat tinggi negara menuai kritik tajam dari kalangan pengamat hukum.
Salah satunya datang dari ET Hadi Saputra, pengamat hukum yang menilai bahwa penggunaan istilah “investasi” untuk program yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serius, baik secara hukum maupun moral.
“MBG itu kan program negara yang didanai APBN. Uang rakyat. Fungsinya sosial. Untuk gizi. Ketika istilahnya digeser menjadi investasi, alarm bahaya hukum saya langsung bunyi,” tulis Hadi dalam akun X (Twitter)-nya, Jumat (10/10/2025).
Bahaya Pergeseran Makna
Menurut Hadi, investasi dan belanja negara memiliki makna yang sangat berbeda.
Investasi berbicara tentang keuntungan dan pengembalian modal, sedangkan belanja negara adalah bentuk kewajiban pemerintah dalam melayani dan menyejahterakan rakyat.
“Kalau MBG disebut investasi, seolah-olah program gizi ini boleh rugi asal dampak ekonominya besar. Padahal, urusan gizi dan kesehatan anak tidak boleh ada kata rugi. Itu harga mati,” tegasnya.
Dengan nilai anggaran yang mencapai ratusan triliun rupiah, Hadi menilai pengelolaan MBG harus berlandaskan pada tiga prinsip utama: tertib hukum, transparansi, dan akuntabilitas. Ia khawatir, jika narasi “investasi” terus dikuatkan, fokus program akan bergeser — dari kualitas gizi dan keselamatan anak-anak menuju target ekonomi jangka pendek.
Masalah di Lapangan: Kasus Keracunan dan Lemahnya Pengawasan
Lebih lanjut, Hadi menyoroti munculnya beberapa kasus keracunan pangan dalam implementasi MBG di berbagai daerah. Dalam konteks hukum, kelalaian dalam menjamin keamanan pangan adalah tindak pidana.
“Negara harusnya hadir sebagai penjamin mutu, terutama saat menyentuh nasib anak-anak. Kalau kualitas dan higienitasnya jebol, lantas apa yang kita investasikan? Investasi risiko kah?” tulisnya sinis.
Ia juga mengingatkan, istilah “waktu tepat investasi” bisa memberi sinyal ambigu ke pasar, membuka potensi moral hazard di kalangan pelaksana program dan rekanan penyedia barang/jasa.
“Apakah ini sinyal bahwa UMKM lokal yang seharusnya digerakkan justru akan dikalahkan oleh pemain besar yang punya modal dan akses ke pusat?” ujarnya, yang diterima awak media.
Hukum Tak Boleh Dikesampingkan
Hadi mengingatkan, Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa memang dibuat rumit untuk mencegah kebocoran uang rakyat. Karena itu, setiap dorongan untuk mempercepat realisasi anggaran dengan dalih investasi harus diwaspadai.
“Mempercepat belanja negara tidak boleh berarti mempercepat proses melanggar hukum. Itu fatal,” tulisnya lagi.
Menurutnya, program sebesar MBG yang bernilai ratusan triliun harus dijalankan secara elegan dalam arti patuh hukum, efisien, dan efektif.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Dalam penutup analisisnya, Hadi menegaskan tiga hal penting yang harus segera dilakukan pemerintah:
- Hentikan Narasi “Investasi” — ganti dengan “Penjaminan Gizi”. MBG bukan bisnis, melainkan kewajiban negara.
- Perketat Pengawasan dan Penegakan Hukum — setiap kasus keracunan harus diusut hingga tuntas, bukan sekadar klarifikasi administratif.
- Transparansi Total — buka semua data pengadaan, mulai dari pemenang tender hingga harga pokok. Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka mengalir.
“Ekonomi boleh melambat, tapi ketaatan pada hukum tidak boleh ikut melambat,” tegas Hadi.
Ia menutup dengan kalimat tajam:
“Tak ada gunanya makanan bergizi dan bahkan yang diasuransikan yang jika akhirnya membuat anak-anak kita mati," pungkasnya.
MBG, tegasnya, harus kembali ke khitah: belanja publik untuk kesejahteraan manusia, bukan instrumen ekonomi untuk mengejar angka pertumbuhan.
***
(Queensha Jepara)