Foto, ilustrasi. Menyimpan barang-barang yang tak terpakai. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Di banyak rumah, tumpukan barang lama kerap menjadi pemandangan umum. Dari baju yang “masih bagus”, mainan masa kecil, hingga tumpukan koran yang sudah menguning hingga semuanya disimpan dengan alasan “siapa tahu berguna nanti”. Namun di balik kebiasaan menimbun barang ini, ternyata tersimpan persoalan psikologis yang tak bisa dianggap sepele.
Menurut pengamat sosial asal Jepara, Purnomo Wardoyo, kesulitan membuang barang bukan hanya karena faktor kebiasaan atau kemalasan, melainkan bisa berakar dari aspek emosional, mental, dan bahkan biologis seseorang.
“Banyak orang tidak sadar bahwa perilaku menyimpan barang lama kadang adalah mekanisme pertahanan diri. Ia merasa aman di balik tumpukan kenangan,” ujar Purnomo.
1. Ikatan Emosional dan Rasa Aman
Secara psikologis, orang cenderung menyimpan barang karena nilai sentimental yang melekat di dalamnya — kenangan dari seseorang, peristiwa, atau masa lalu yang tak ingin dilupakan.
Ada pula perasaan “sayang” karena barang itu pernah dibeli dengan susah payah atau dianggap masih bisa berguna di masa depan.
Purnomo menyebut, bagi sebagian orang, barang-barang tersebut memberi rasa aman di tengah dunia yang tidak pasti. “Barang menjadi simbol kontrol. Ia merasa, selama masih menyimpannya, hidupnya tetap dalam genggaman,” ujarnya.
2. Tanda Gangguan Mental
Namun, jika perilaku menimbun sudah mengganggu kehidupan sehari-hari — sulit bergerak di rumah, mudah marah jika barang disentuh orang lain, atau menolak membuang benda yang jelas tak berguna karena itu bisa mengarah pada gangguan mental, seperti:
- Hoarding Disorder: ketidakmampuan melepaskan barang, bahkan yang tak bernilai, karena rasa cemas berlebihan.
- OCD (Obsessive Compulsive Disorder): obsesi menyimpan atau menimbun barang akibat dorongan pikiran yang tak terkendali.
- Depresi dan kecemasan: penimbunan barang kerap menjadi bentuk pelarian dari kesedihan, kesepian, atau kehilangan.
Purnomo menegaskan, “Kondisi ini tidak bisa disembuhkan hanya dengan disuruh ‘beres-beres’. Diperlukan pendekatan psikologis yang lembut dan dukungan dari keluarga.”
3. Pengaruh Biologis dan Genetik
Selain faktor psikologis, penelitian juga menunjukkan bahwa fungsi otak dan faktor genetik turut berperan. Area otak yang mengatur pengambilan keputusan dan kontrol impuls kadang tidak bekerja optimal, menyebabkan seseorang kesulitan menentukan nilai suatu benda.
Jika dalam keluarga ada anggota dengan riwayat hoarding disorder, kemungkinan besar kecenderungan itu bisa menurun.
4. Trauma dan Pengalaman Hidup
Penyebab lain adalah pengalaman traumatis di masa lalu. Kehilangan orang terdekat, bencana alam, atau hidup dalam kekurangan dapat membentuk perilaku kompulsif untuk menyimpan apapun hingga seolah takut kehilangan lagi.
“Di banyak kasus, mereka yang sulit membuang barang justru punya sejarah hidup yang pahit,” tutur Purnomo. “Menimbun barang menjadi cara mereka bertahan dari rasa kehilangan.”
Langkah Bijak: Bereskan Pikiran Sebelum Bereskan Barang
Menurut Purnomo Wardoyo, langkah awal untuk mengatasi perilaku menimbun bukan dengan memaksa membuang barang, melainkan menata ulang hubungan emosional dengan benda-benda itu.
“Mulailah dengan menerima bahwa kenangan tak selalu harus diwujudkan dalam bentuk benda,” katanya.
Ia menambahkan, jika perilaku ini sudah membuat stres atau mengganggu hubungan sosial, pendampingan psikolog sangat disarankan.
“Membersihkan rumah kadang berarti membersihkan hati,” pungkas Purnomo.
***
Jepara, 19 Oktober 2025
Queensha Jepara.