Notification

×

Iklan

Iklan

Galian C Ilegal di Jepara: Untung Besar, Risiko Hukum Lebih Besar

Minggu, 09 November 2025 | 13.18 WIB Last Updated 2025-11-09T06:19:14Z

Foto, salah satu kegiatan galian tanah atau galian C. Sumber: BS.


Queensha.id - Jepara,


Aktivitas galian tanah atau yang sering disebut galian C kini marak di sejumlah wilayah Kabupaten Jepara. Truk-truk besar hilir mudik mengangkut tanah merah dari perbukitan ke lokasi proyek, membuat sebagian warga bertanya-tanya: seberapa besar keuntungan di balik bisnis ini, dan apakah kegiatan itu legal?



Keuntungan Besar dari Galian Tanah


Dari hasil penelusuran lapangan, satu dump truk berisi tanah merah umumnya dijual dengan harga antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu per rit, tergantung jarak lokasi dan jenis tanah. Dalam sehari, satu truk bisa melakukan 5 hingga 10 kali rit, terutama jika jarak pengangkutan tidak terlalu jauh.


Jika satu lokasi galian memiliki 5–10 truk operasional, omzet harian bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 25 juta per hari.
Bila berlangsung sebulan penuh, keuntungan bersih bisa menembus ratusan juta rupiah.


Tak heran, banyak pihak tergiur membuka galian baru, meskipun tak semua memiliki izin resmi dari pemerintah daerah.



Antara Izin Desa dan Izin Resmi Pemerintah


Sebagian pelaku galian mengaku telah “berizin”, padahal yang dimaksud hanyalah izin lisan dari pihak desa atau petinggi. Padahal, secara hukum, izin desa tidak cukup dan tidak sah untuk melakukan kegiatan pengambilan tanah berskala besar.


Izin resmi galian C harus diperoleh dari pemerintah provinsi melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Prosesnya meliputi:


  1. Kajian lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL),
  2. Penetapan lokasi,
  3. Izin usaha pertambangan (IUP),
  4. Pembayaran pajak dan retribusi daerah.


Jika hanya bermodalkan izin desa atau "pembiaran", maka kegiatan tersebut tergolong galian ilegal, meskipun dilakukan di tanah milik pribadi.



Apakah Termasuk Mencuri Tanah Pemerintah?


Jika tanah yang digali berada di lahan milik pribadi dan ada bukti kepemilikan yang sah, maka tidak bisa disebut mencuri tanah pemerintah. Namun jika dilakukan di lahan tanah negara, tanah kas desa, atau tanah perhutani tanpa izin, maka hal itu masuk kategori penyerobotan tanah negara, yang merupakan tindak pidana.


Pelaku bisa dijerat Pasal 385 KUHP atau UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp 100 miliar.



Pelanggaran dan Sanksi Hukum


Menurut Pasal 158 Undang-Undang Minerba, setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP) dapat dikenai:


  • Pidana penjara paling lama 5 tahun, dan
  • Denda paling banyak Rp 100 miliar.


Selain itu, pelaku juga bisa dikenai pasal tambahan bila menyebabkan kerusakan lingkungan, longsor, atau banjir. Pemerintah daerah bahkan bisa menyita alat berat, menutup lokasi, dan menuntut ganti rugi lingkungan.



Dampak dan Keluhan Warga


Aktivitas galian C sering menimbulkan kerusakan jalan desa, debu tebal, hingga risiko longsor di area sekitar. Tak jarang warga setempat yang dulu nyaman tinggal di lereng bukit kini hidup dalam ketakutan, apalagi di musim hujan.


“Setiap kali truk lewat, rumah bergetar. Kalau hujan, tanah dari bukit bisa turun ke jalan,” kata salah satu warga Ngasem, Jepara, yang minta namanya dirahasiakan.



Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?


Jika galian tanah menimbulkan bahaya seperti longsor atau merusak lingkungan, masyarakat berhak untuk:


  1. Melapor ke pemerintah desa atau kecamatan,
  2. Mengadukan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) atau ESDM Kabupaten/Provinsi,
  3. Melapor ke kepolisian bila kegiatan dilakukan tanpa izin resmi,
  4. Menolak aktivitas truk yang melintas di jalan desa tanpa izin penggunaan.


Selain itu, warga juga bisa meminta pembuatan tanggul, drainase, atau penghentian sementara aktivitas galian bila terbukti membahayakan.


Jadi, galian C memang menawarkan keuntungan besar dalam waktu singkat, namun tanpa izin resmi dan pengelolaan lingkungan yang baik, risikonya jauh lebih besar, baik dari sisi hukum, kerusakan alam, maupun keselamatan masyarakat sekitar.


Pemerintah daerah diharapkan memperketat pengawasan, sementara masyarakat perlu berani bersuara jika aktivitas galian di sekitar mereka mulai mengancam lingkungan hidup.


***

(Tim Redaksi Queensha Jepara / 8 November 2025)