| Foto, tangkap layar dari chatting (tuduhan pencemaran nama baik) di media sosial. |
Queensha.id - Jepara,
Jepara — Di era digital seperti sekarang, hampir setiap peristiwa di ruang publik bisa dengan mudah direkam, diunggah, dan menjadi viral dalam hitungan menit. Mulai dari keributan, adu mulut, hingga insiden pemukulan, semua cepat tersebar di media sosial terutama di Facebook, yang masih menjadi platform paling populer di Jepara.
Namun, di balik masifnya arus informasi tersebut, sering kali muncul persoalan baru: tuduhan pencemaran nama baik.
Banyak orang yang merasa dirugikan setelah videonya beredar tanpa izin, lalu dengan cepat melaporkan pembuat konten tanpa memahami konteks dan aturan hukumnya.
Menurut pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, fenomena ini muncul karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang batas antara kebebasan berekspresi dan pencemaran nama baik.
“Tidak semua video atau tulisan yang beredar di media sosial bisa langsung dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Harus dilihat dulu konteksnya, apakah ada niat buruk, penghinaan, atau fitnah yang merugikan reputasi seseorang,” jelasnya.
Konten Seperti Apa yang Bisa Dikatakan Melanggar?
Purnomo menjelaskan, ada beberapa ciri yang bisa membuat sebuah konten dikategorikan melanggar atau mengandung pencemaran nama baik, antara lain:
- Menuduh tanpa bukti — misalnya menuliskan seseorang mencuri, selingkuh, atau melakukan hal buruk tanpa dasar fakta atau konfirmasi.
- Menggunakan kalimat merendahkan atau menghina — baik secara langsung maupun tersirat.
- Menyebarkan video pribadi tanpa izin, apalagi jika disertai caption yang mempermalukan atau menghasut.
- Menambahkan narasi yang menyesatkan, seperti memotong video agar terlihat seolah seseorang bersalah padahal faktanya tidak demikian.
“Kalau hanya merekam kejadian di tempat umum tanpa niat jahat dan untuk tujuan informasi, itu tidak bisa langsung dibilang mencemarkan nama baik. Tapi kalau ditambah narasi negatif dan menuduh, barulah itu bisa jadi masalah hukum,” tambahnya.
Fenomena di Jepara: Setengah Fakta, Setengah Sensasi
Di Kabupaten Jepara sendiri, banyak konten kreator yang berburu momen viral demi menaikkan viewer, follower, dan traffic pembaca. Tak jarang, mereka hanya mengambil potongan video atau kronologi setengah-setengah.
Akibatnya, publik menilai tanpa mengetahui konteks sebenarnya dan yang jadi korban sering kali adalah masyarakat kecil yang tidak tahu harus berbuat apa.
“Tujuannya memang monetisasi, bukan klarifikasi fakta. Akhirnya, yang dirugikan bukan hanya nama baik seseorang, tapi juga kepercayaan publik terhadap media lokal,” ujar Purnomo.
Bijak di Dunia Digital
Para pengguna media sosial diimbau untuk lebih bijak. Jika melihat video viral, sebaiknya tidak langsung menyebarkan atau memberikan komentar negatif tanpa memahami situasi sebenarnya.
Sementara bagi konten kreator, penting untuk memastikan kebenaran dan izin publikasi sebelum mengunggah video yang melibatkan orang lain.
“Hati-hati, di era digital, satu unggahan bisa jadi masalah besar. Tapi menuduh sembarangan pencemaran nama baik juga bisa berbalik arah kalau tuduhan itu tak berdasar,” tutup Purnomo.
Edukasi digital, etika bermedia sosial, dan pemahaman hukum perlu terus disosialisasikan agar masyarakat Jepara tak hanya aktif di dunia maya, tapi juga cerdas dan bertanggung jawab di dalamnya.
***
(Queensha Jepara, 4 November 2025)