Notification

×

Iklan

Iklan

Miris, Siswa SD di Jepara Takut Sekolah karena Dibully Bertahun-tahun: Kalau Mau Aman Harus Bayar

Sabtu, 08 November 2025 | 14.20 WIB Last Updated 2025-11-08T07:26:08Z

Foto, sekolah dasar (SD Negeri) di Desa Tahunan, kecamatan Tahunan, Jepara.

Queensha.id – Jepara,


Kasus dugaan perundungan (bullying) kembali mencoreng dunia pendidikan di Kabupaten Jepara. Seorang siswa SD Negeri di Tahunan, kecamatan Tahunan, Jepara dikabarkan mengalami tindak kekerasan fisik dan intimidasi dari enam teman sekolahnya sejak duduk di kelas 2 hingga kini naik ke kelas 5.


Korban bernama Jalal Altapa Lubiantoro, anak dari Hendro Lubiantoro, sudah tidak bersekolah selama enam bulan terakhir karena trauma dan ketakutan. Hendro mengaku putranya kerap dipukul, dipalak, bahkan dipermalukan oleh sekelompok siswa di sekolah tersebut.


“Sejak kelas 2 sampai masuk kelas 5 ini, anak saya dibuli sama enam orang. Sering dipukul, bajunya kadang sobek, dimintai uang, kalau nggak dikasih dipukul. Bahkan kalau mau duduk, harus bayar dulu sama yang ngebuli,” ungkap Hendro Lubiantoro, ayah korban, saat diwawancarai Queensha.id melalui pesan singkat, Sabtu (8/11/2025).

 

Lebih ironis lagi, Hendro mengaku pihak sekolah tidak menanggapi keluhan keluarga dengan serius. Ia menyebut kepala sekolah dan beberapa guru justru membela pihak pelaku dan menyalahkan anaknya sendiri.


“Kata kepala sekolahnya, kalau nggak mau sekolah ya pindah aja. Guru-gurunya malah belain anak-anak yang ngebuli. Jadi anak saya makin takut, tiap pulang sekolah dulu selalu nangis,” lanjut Hendro dengan nada kecewa.

 

Menurutnya, para pelaku memiliki tubuh lebih besar dari korban, sehingga Jalal sering kalah dan hanya bisa pasrah setiap kali menjadi sasaran kekerasan.


Kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan warga sekitar. Banyak yang berharap Dinas Pendidikan Kabupaten Jepara segera turun tangan dan melakukan investigasi menyeluruh, agar kasus serupa tidak terulang.


Fenomena bullying di lingkungan sekolah bukan hanya merusak mental korban, tetapi juga mencoreng nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan. Jalal kini memilih tinggal di rumah karena trauma berat dan enggan kembali ke sekolah.


“Enam bulan ini dia nggak mau sekolah karena takut. Kalau di sekolah, satu bangku harus bayar biar aman, kalau nggak ya dipukuli,” tutup Hendro dengan lirih.

 

Kasus ini menjadi peringatan serius bagi semua pihak sekolah, orang tua, dan pemerintah diharapkan untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan di lingkungan pendidikan dan menjamin hak setiap anak untuk belajar tanpa rasa takut.



***

(Tim Redaksi Queensha Jepara, 8 November 2025)