Notification

×

Iklan

Iklan

TNI AU Turun Tangan di Bandara IMIP Morowali: Ketika Negara Datang Terlambat ke Rumahnya Sendiri

Jumat, 28 November 2025 | 13.30 WIB Last Updated 2025-11-28T06:45:19Z

Foto, Bandara Marowali, Sulawesi Tengah.

Queensha.id – Artikel Analisis,


Kisruh pengelolaan Bandara PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali akhirnya mencapai babak baru yang lebih dramatis, lebih berisik, dan lebih membuka mata. Setelah bertahun-tahun bandara itu beroperasi bak “wilayah privat dengan fasilitas publik”, negara akhirnya turun tangan. Bukan lewat Bea Cukai, bukan Imigrasi, bukan Kemenhub. Tapi TNI Angkatan Udara.


Pilihan yang mengejutkan? Tidak juga. Pilihan yang telat? Sangat.



Tidak Boleh Ada Negara di Dalam Negara


Ketika Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin datang dan mengucapkan kalimat tegas itu, suasananya seperti pemilik rumah yang baru sadar bahwa ruang tamunya telah ditempati orang lain tanpa izin selama bertahun-tahun.


Nada Sjafrie bukan sekadar peringatan, tetapi teguran keras yang menggema:


“Ini bandara… atau kerajaan kecil yang lupa lapor ke Republik?”


Ucapan itu mewakili perasaan publik: heran, geram, sekaligus geli melihat bagaimana fasilitas udara seluas itu bisa berjalan tanpa kehadiran negara yang seharusnya mengawasi.



TNI Datang, Aparat Lain Ikut Berbondong-bondong


Masuknya TNI AU dan Korpasgat ke area bandara bukan sekadar “unjuk kekuatan”. Ini lebih seperti negara akhirnya bangun dari tidur panjangnya setelah alarm publik berbunyi keras.


Menariknya, setelah TNI datang, aparat lain ikut menyusul. Polri, Bea Cukai, Imigrasi, Kemenhub dan semuanya hadir seperti tamu undangan yang datang terlambat pada pesta yang sudah berlangsung lama. Padahal, pesta itu bukan pesta kecil:


  • Ada bandara operasional
  • Pesawat hilir-mudik setiap hari
  • Mobilitas tenaga kerja dan barang tak pernah berhenti
  • Semua dikelola swasta, tanpa pengawasan yang memadai


Selama ini, tampaknya PT IMIP lebih sigap mengatur bandara daripada negara sendiri.



Sorotan Mengarah ke Pemprov Sulteng


Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura ikut terseret dalam pusaran kritik publik. Pertanyaannya lugas:


  • Bagaimana mungkin bandara seluas itu beroperasi tanpa koordinasi intensif dengan pemerintah provinsi?
  • Apakah memang tidak tahu?
  • Atau terlalu percaya pada “magis investasi besar”?


Jawaban itu belum sepenuhnya terungkap, tetapi nada publik sudah jelas: ada kelengahan besar.



Respons Kemenhub: Diplomatis, tapi Membingungkan


Kementerian Perhubungan akhirnya angkat suara:


“Izin bandara itu resmi… namun pengawasannya perlu diperkuat," tuturnya yang diterima awak media.


Pernyataan yang terdengar seperti seseorang berkata:


“Itu memang mobil saya, tapi saya lupa kuncinya di mana.”


Artinya: negara punya izin, tapi tidak punya kehadiran.



Kenapa Militer yang Harus Datang?


Pertanyaan yang tak bisa dihindari:


  • Mengapa fasilitas sipil harus diambil alih oleh militer?
  • Kenapa instansi sipil datang paling akhir?
  • Apakah ini bandara… atau pangkalan udara cadangan?


Jawabannya pahit namun nyata: Ketika regulasi sipil tertidur, militer yang dibangunkan.



Gejala dari Masalah yang Lebih Dalam


Kasus Morowali bukan kejadian tunggal. Ini gejala dari persoalan struktural:


  • Investasi dikejar, pengawasan ditinggalkan
  • Wilayah abu-abu dibiarkan membesar
  • Kedaulatan tergerus perlahan tanpa disadari


Ketika perusahaan bergerak lebih cepat daripada negara, yang hilang bukan sekadar fungsi pengawasan, melainkan wibawa dan legitimasi.



Pelajaran Penting untuk Republik


Bandara IMIP mengajarkan satu hal:


Negara hanya kuat kalau hadir tapi bukan hanya ketika ribut, tetapi sejak awal.


Dan kata “hadir” bukan sekadar datang ketika masalah membesar. Hadir juga berarti mengawasi, memastikan aturan berjalan, dan tidak membiarkan wilayah penting menjadi “pulau pribadi” dalam struktur negara.


Pada akhirnya, negara yang kuat bukanlah negara yang cepat berbicara…
tetapi negara yang berani hadir di tempat yang selama ini dibiarkannya kosong.


***

Wartawan: Aris Bayu Sasongko.