Notification

×

Iklan

Iklan

Toxic Pertemanan di Era Modern: Fenomena “Ngatain Pelit Padahal Sama-Sama Pelit” yang Semakin Marak

Selasa, 25 November 2025 | 13.13 WIB Last Updated 2025-11-25T07:52:51Z

Foto, ilustrasi (pertemanan dalam kehidupan sehari-hari).

Queensha.id - Edukasi Sosial,


Di tengah dinamika pergaulan masa kini, muncul satu fenomena yang makin sering terdengar: teman yang suka mengatai pelit, padahal dirinya sendiri tak kalah pelit. Fenomena ini tampak sepele, namun sesungguhnya menggambarkan perubahan pola relasi sosial yang cukup serius, terutama di lingkungan pertemanan muda.


Banyak kasus muncul dari hal-hal sederhana: meminjam barang, diajak nongkrong, urusan bayar-membayar, hingga perilaku “memanfaatkan” teman. Orang yang paling vokal menuduh temannya pelit, sering kali justru adalah orang yang paling enggan membantu ketika dibutuhkan.



Ketika ‘Tolong-Menolong’ Hanya Jalan Satu Arah


Zaman sekarang banyak orang ingin ditolong, tapi tidak semua mau menolong. Ada teman yang:


  • Meminjam barang, tapi barangnya sendiri disembunyikan.
  • Rajin memakai barang orang, tapi anti ketika dimintai gantian.
  • Sering mengajak pergi, tapi ujung-ujungnya minta dibayarin.
  • Alasan klasik: “Nggak pegang uang”, “Kerjaan lagi sepi”, “Belum gajian”.
  • Namun tiba-tiba muncul kabar: beli motor baru, renovasi rumah, atau gadget terbaru.


Perilaku seperti ini tidak hanya menciptakan ketidakseimbangan, tapi juga membentuk pola relasi yang merugikan salah satu pihak secara emosi maupun finansial.



Edukasi Sosial: Memahami Batas dan Etika dalam Berteman


Menurut pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, fenomena ini mencerminkan pergeseran etika sosial yang terjadi akibat perubahan gaya hidup dan pola komunikasi antar teman.



Menurutnya, ada beberapa poin penting:


1. Pertemanan Sehat Tidak Menggunakan Manipulasi


Teman yang baik tidak membuat temannya merasa bersalah karena tidak mau memberi uang, tidak meminjamkan barang, atau tidak mentraktir., “Manipulasi dengan label ‘pelit’ merupakan cara halus menekan seseorang,” ujar Purnomo.


2. Transparansi Keuangan Itu Penting


Tidak semua orang wajib membiayai gaya hidup temannya.
Saling mengerti kondisi masing-masing adalah dasar hubungan sosial yang sehat.


3. Barang Pribadi Bukan Hak Bersama


Meminjam boleh, tapi menghargai pemilik adalah kewajiban, “Toxic adalah ketika seseorang meminjam barang seenaknya, tapi barang miliknya dianggap seperti aset negara yang harus disembunyikan,” kata Purnomo.



4. Jangan Menjadikan Teman sebagai ‘Sumber Daya’


Teman bukan ATM berjalan, bukan penyedia kendaraan, bukan sponsor nongkrong. Pertemanan sejati dibangun atas kesetaraan, bukan eksploitasi.



Kenapa Fenomena Ini Semakin Banyak?


Pengamat sosial memaparkan beberapa faktor:


  • Budaya FOMO: ingin ikut nongkrong tanpa memikirkan kemampuan.
  • Tekanan Gaya Hidup: ingin terlihat “mampu” meski sebenarnya tidak.
  • Kurang Pendidikan Karakter: banyak orang dewasa secara usia, namun tidak dewasa secara perilaku.



Membangun Pertemanan yang Berkelas


Edukasi sosial sehari-hari mengajarkan:


  • Belajarlah berkata jujur: “Aku lagi nggak bisa ikut,” atau “Aku belum bisa bantu.”
  • Hargai batasan orang lain.
  • Jangan memaksa orang membantu hanya karena status “teman”.
  • Dan yang terpenting: jangan menghakimi orang lain pelit, kalau diri sendiri tidak lebih baik.


Purnomo Wardoyo menutup dengan kalimat:


“Pertemanan itu saling menguatkan, bukan saling memberatkan. Jika sebuah hubungan membuatmu rugi secara mental, finansial, dan emosional, itu bukan pertemanan tapi itu pemanfaatan," pungkasnya.


***