| Foto, tradisi Prasah, di Jepara. |
Queensha - Jepara,
Setiap daerah di Indonesia memiliki cara unik untuk merayakan kebahagiaan. Di Kabupaten Jepara, tepatnya di Desa Sidigede, Kecamatan Welahan, terdapat sebuah tradisi yang masih lestari hingga kini, yaitu tradisi Prasah yang merupakan arak-arakan kerbau jantan yang menjadi bagian dari prosesi sakral pernikahan warga setempat.
Kerbau di Depan, Doa di Belakang
Tradisi ini biasanya digelar pada pagi hari sebelum akad nikah dimulai, sekitar pukul 07.00 WIB. Seekor kerbau jantan yang telah dijinakkan diarak dari rumah pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan, diiringi sorak semangat warga yang tumpah ruah di sepanjang jalan desa.
Kerbau tersebut diikat menggunakan tali dadung pada bagian kaki, leher, dan kepala, lalu berjalan perlahan diiringi tabuhan musik, bunyi gamelan, hingga lantunan doa para sesepuh desa.
Di belakang kerbau, tampak barongsai, mobil pengantin, dan rombongan keluarga yang membawa seserahan.
Suasana penuh suka cita, namun tetap dijaga kesakralannya.
“Sebenarnya tidak boleh memukul kerbau, karena sama saja menyakiti binatang. Tukang bracut hanya bertugas menjaga agar arak-arakan tertib,” ujar Nurrofi’i, Mudin Desa Sidigede, Jumat (7/11/2025).
Makna dan Filosofi: Sedekah dari Hati
Menurut Nurrofi’i, Prasah bukan sekadar hiburan atau simbol kemewahan, melainkan bentuk penghargaan kepada pengantin laki-laki serta wujud keikhlasan keluarga dalam mengantarkan anaknya menuju jenjang rumah tangga.
“Bahasanya itu sedekah. Prasah ini seserahan manten yang dilakukan dengan ikhlas, berangkat dari hati nurani,” tuturnya.
Sebelum arak-arakan dimulai, tokoh agama desa memimpin doa dan pembacaan mantra agar kerbau tetap tenang selama perjalanan, serta memohon keberkahan bagi kedua mempelai.
Kerbau Bernilai Puluhan Juta
Kerbau yang digunakan dalam tradisi Prasah bukan sembarang hewan. Umumnya, kerbau berjenis kelamin jantan, bertubuh besar, sehat, dan sudah dijinakkan. Nilai seekor kerbau untuk tradisi ini bisa mencapai Rp50 juta hingga Rp100 juta, tergantung ukuran dan kondisi fisiknya.
Kepala Desa Sidigede, Abdul Hakim, menjelaskan bahwa tradisi Prasah dilakukan oleh keluarga yang sudah berniat sejak lama dan memiliki kemampuan finansial yang cukup.
“Kalau ada orang punya hajat dari pihak laki-laki, biasanya memang sudah berniat. Kalau rezekinya cukup, baru membawa Prasah. Tapi tidak semua yang mampu wajib melakukannya,” terangnya.
Warisan Budaya dan Kebersamaan
Tradisi Prasah telah menjadi identitas budaya Desa Sidigede selama bertahun-tahun, diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Selain menjadi lambang status sosial, arak-arakan ini juga memperkuat rasa kebersamaan dan gotong royong warga.
“Tradisi ini sudah ada sejak dulu dan menjadi kebanggaan kami. Selain bentuk syukur atas pernikahan, juga mempererat hubungan antarwarga,” tambah Abdul Hakim.
Kini, di tengah modernisasi dan pergeseran nilai-nilai budaya, warga Sidigede masih berupaya menjaga tradisi Prasah agar tetap hidup dan dikenal luas, tidak hanya sebagai tontonan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang mengajarkan makna keikhlasan, syukur, dan kebersamaan.
***
Sumber: Mtv.
Wartawan: Aris Bayu Sansongko – Queensha Jepara.