| Foto, ilustrasi. Hutang piutang. |
Queensha.id – Edukasi Sosial,
Dalam kehidupan sehari-hari, persoalan utang-piutang kerap kali menjadi pemicu konflik. Tidak hanya antar teman, tetapi juga antara saudara, tetangga, bahkan keluarga sendiri. Banyak kasus berakhir saling ribut hanya karena satu hal: uang yang sudah berpindah tangan sulit kembali.
Kalimat seperti, “Saya pakai dulu sebentar ya, akhir bulan saya kembalikan,” sering terdengar akrab. Namun, tiba akhir bulan, yang dinanti tak kunjung muncul. Tidak ada kabar, tidak ada pengembalian. Dan konflik pun mulai tumbuh.
Namun ada situasi yang jauh lebih rumit dan bahkan berbahaya, yaitu ketika nominal utang mulai menyentuh angka besar.
Kasus Si A dan Si B: Utang Rp100 Juta yang Berujung Laporan Polisi
Contohnya, Si A meminjam uang Rp100 juta kepada Si B. Saat meminjam, Si A memberi banyak janji. Hubungan mereka sebenarnya bukan pertemanan dekat; hanya kenalan biasa. Namun Si B luluh karena melihat Si A tampak meyakinkan dan memiliki ekonomi yang terbilang cukup.
Masalah muncul ketika jatuh tempo. Janji Si A meleset. Ia meminta tambahan waktu empat bulan, lagi-lagi dengan berbagai alasan. Si B merasa tersudut, jengkel, dan akhirnya melaporkan Si A ke polisi dengan harapan ada efek jera.
Padahal, pada dasarnya, utang-piutang adalah ranah hukum perdata, bukan pidana. Polisi biasanya tidak bisa langsung memproses laporan kecuali ada unsur tertentu yang mengarah pada tindak pidana.
Apakah Si A Bisa Dipidana? Ini Penjelasan Hukumnya
Utang pribadi tidak otomatis menjadi pidana. Namun, dapat masuk ranah pidana bila mengandung unsur:
-
Penipuan (Pasal 378 KUHP)
Jika sejak awal Si A berniat menipu, misalnya:- Memberi keterangan palsu,
- Menunjukkan bukti ekonomi bohong,
- Tidak memiliki kemampuan sejak awal tetapi sengaja memutarbalikkan fakta,
- Meminjam lalu kabur tanpa itikad baik.
-
Penggelapan (Pasal 372 KUHP)
Terjadi bila Si A diberi uang untuk tujuan tertentu (misalnya titipan atau kerja sama), namun ia menggunakan uang itu tidak sesuai perjanjian dan tanpa izin.
Bagaimana Bila Si A Mengaku Memiliki Etika Membayar Tapi Baru Membayar Rp10 Juta?
Pernyataan "Saya ada niat membayar" sering dipakai untuk meredam masalah, tetapi hukum menilai niat saja tidak cukup.
- Jika Si A hanya membayar Rp10 juta dari total Rp100 juta dalam waktu bertahun-tahun,
- Jika tidak ada kejelasan kapan pelunasan,
- Apalagi jika kemudian pindah rumah atau menghilang,
Maka hal tersebut bisa menjadi indikasi tidak adanya itikad baik, yang dapat memperkuat laporan pidana.
Namun tetap, pembuktian niat jahat di awal sangat penting untuk memindahkan perkara dari perdata ke pidana.
Ketika Si A Kabur: Menguatkan Dugaan Pidana
Kaburnya debitur dapat menjadi alat bukti tambahan bahwa Si A memang berniat menghindari kewajiban. Polisi bisa mendalami apakah:
- Ada kebohongan sejak awal?
- Ada pemalsuan data?
- Ada janji-janji fiktif yang dipakai untuk meyakinkan Si B?
Jika unsur tersebut terbukti, barulah laporan penipuan dapat diproses.
Apa Jalan Hukum Terbaik?
1. Jalur Perdata
- Mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
- Meminta sita jaminan atas harta Si A.
- Meminta putusan yang mewajibkan pelunasan utang beserta bunga.
2. Jalur Pidana
Bisa dipakai jika dan hanya jika ada unsur kebohongan sejak awal.
3. Mediasi
Masih menjadi opsi jika kedua pihak ingin menyelesaikan damai.
Kesimpulannya
- Utang pribadi umumnya perdata, bukan pidana.
- Namun bisa menjadi pidana bila sejak awal ada niat menipu atau memalsukan fakta.
- Pembayaran kecil tanpa kejelasan, ditambah kabur, dapat memperkuat dugaan pidana.
- Laporan polisi seringkali dilakukan agar debitur takut dan mau membayar, meski proses hukum yang sah ada di perdata.
Pada akhirnya, persoalan utang mengajarkan satu hal: selalu berhati-hati meminjamkan uang, bahkan kepada orang yang kita kenal sekalipun.
***
Tim Redaksi.
Jepara, 26 November 2025