Queensha.id - Jepara,
Praktik bank plecit kembali menjadi momok serius di Kabupaten Jepara. Di balik nama koperasi simpan pinjam atau pinjaman keliling, praktik ini sejatinya adalah rentenir dengan bunga mencekik yang bisa mencapai 20–30 persen per angsuran. Penagihannya dilakukan langsung ke rumah warga, menjadikannya dikenal luas sebagai bank keliling atau bahkan lintah darat.
Fenomena ini tumbuh subur di tengah kebutuhan ekonomi masyarakat kecil yang mendesak. Tanpa agunan, tanpa prosedur rumit, uang bisa cair cepat. Namun kemudahan itu berbanding terbalik dengan beban cicilan yang kian menumpuk dan sulit dilunasi.
Riba yang Diharamkan dalam Islam
Dalam pandangan Islam, praktik bank plecit termasuk perbuatan riba yang diharamkan secara tegas. Riba bukan hanya soal bunga, tetapi tentang ketidakadilan dan penindasan ekonomi terhadap pihak yang lemah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Ulama sepakat bahwa bunga yang berlipat-lipat, apalagi memanfaatkan kondisi terdesak seseorang, termasuk riba nasi’ah yang dosanya besar. Dampaknya tidak hanya merusak harta, tetapi juga keberkahan hidup.
Jeratan Utang dan Kerusakan Sosial
Di Jepara, banyak warga mengaku awalnya meminjam untuk kebutuhan mendesak seperti biaya sekolah, modal usaha kecil, hingga kebutuhan rumah tangga. Namun bunga tinggi membuat cicilan tak pernah terasa lunas. Alih-alih keluar dari kesulitan, nasabah justru terperosok ke jurang utang berkepanjangan.
Pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai praktik bank plecit sebagai ancaman serius bagi ketahanan sosial masyarakat.
“Bank plecit ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi sudah menjadi kejahatan sosial. Mereka memanfaatkan keterdesakan warga, lalu menghisapnya perlahan lewat bunga yang tidak manusiawi,” tegas Purnomo, Jum'at (26/12/2025).
Menurutnya, praktik ini jelas bertentangan dengan nilai agama, hukum, dan rasa keadilan sosial.
“Dalam Islam jelas riba itu haram. Tapi yang lebih menyedihkan, praktik ini dibiarkan tumbuh karena lemahnya pengawasan dan minimnya akses pinjaman resmi yang ramah bagi wong cilik,” tambahnya.
Koperasi Abal-Abal dan Lemahnya Pengawasan
Purnomo juga menyoroti banyaknya koperasi simpan pinjam yang hanya menjadi kedok. Secara administratif tampak legal, namun operasionalnya jauh dari prinsip koperasi yang sehat dan berkeadilan.
“Nama koperasi seharusnya untuk menolong anggota, bukan menjerat. Kalau bunganya 20 sampai 30 persen per angsuran, itu bukan koperasi, itu rentenir berjubah hukum,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas, sekaligus memperluas literasi keuangan masyarakat.
Jalan Keluar: Lindungi Warga, Putus Mata Rantai
Sebagai solusi, masyarakat diimbau untuk menghindari pinjaman bank plecit dan beralih ke lembaga keuangan resmi seperti bank, pegadaian, koperasi yang terdaftar, atau program pembiayaan pemerintah yang legal dan transparan. Bagi yang sudah terlanjur terjerat, konsultasi hukum dan pendampingan keuangan menjadi langkah penting.
Maraknya bank plecit di Jepara menjadi peringatan keras bahwa ketimpangan akses ekonomi masih nyata. Selama kebutuhan rakyat kecil tidak dijawab oleh sistem yang adil, rentenir akan selalu menemukan celah. Pertanyaannya, sampai kapan jerat riba ini dibiarkan menggigit masyarakat Jepara?
***
Tim Redaksi.