| Foto, salah satu warga Aceh yang mengibarkan bendera Bulan Bintang yang merupakan simbol perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). |
Queensha.id – Aceh,
Aksi masyarakat di sejumlah wilayah Aceh yang mendesak pemerintah menetapkan status darurat bencana nasional berubah menjadi peristiwa sensitif bernuansa politik. Pengibaran bendera bulan bintang yang merupakan simbol perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)—kembali muncul ke ruang publik, memicu ketegangan dengan aparat keamanan dan membangkitkan memori kelam konflik bersenjata dua dekade silam.
Isu tuntutan kemerdekaan yang meredup sejak tsunami dahsyat 2004 kini kembali terdengar, berkelindan dengan kekecewaan masyarakat atas lambannya penanganan bencana yang melanda Aceh pada akhir November 2025. Di berbagai titik, bendera bulan bintang berkibar, menciptakan suasana yang mengingatkan Aceh pada masa perang sebelum penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Awalnya, masyarakat memilih simbol netral dengan mengibarkan bendera putih. Aksi itu menjadi penanda keputusasaan dan seruan moral agar negara segera menetapkan bencana sebagai bencana nasional, sekaligus membuka akses bantuan internasional. Namun, ketika tuntutan tersebut tak kunjung direspons, eskalasi pun terjadi.
Bendera GAM mulai bermunculan mulai dipasang di pinggir jalan, di kendaraan konvoi, bahkan pada armada yang disebut membawa bantuan bagi korban banjir. Seribuan massa berkonvoi di Banda Aceh, melintasi Jembatan Pante Perak menuju pendopo gubernur. Di Pidie, ratusan orang berkumpul di depan Masjid Abu Daud Beureueh sebelum bergerak menuju Aceh Tamiang, dengan teriakan “merdeka, merdeka” menggema di sepanjang jalan.
Aksi serupa tercatat di Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, hingga Aceh Timur merupakan wilayah-wilayah yang memiliki jejak panjang dalam sejarah konflik Aceh. Di beberapa lokasi, aparat TNI dan Polri melakukan pengadangan dan pembubaran massa. Ketegangan pun tak terhindarkan. Di Lhokseumawe dan Aceh Utara, bentrokan terjadi, disertai laporan pemukulan terhadap warga peserta aksi hingga menyebabkan luka-luka.
Komandan Korem 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Ali Imran, menyatakan aparat membubarkan aksi karena pengibaran simbol terlarang di ruang publik. Seorang pria yang membawa pistol dan senjata tajam rencong turut diamankan.
“TNI membubarkan kelompok pembawa bendera GAM yang melakukan aksi di tengah jalan,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah alias Dek Fad mengingatkan semua pihak untuk menahan diri. Menurutnya, situasi Aceh pascabencana membutuhkan empati dan kerja bersama, bukan konfrontasi.
“Masyarakat Aceh sedang berduka. Jauhkan sikap arogansi, mari bahu-membahu membantu korban,” katanya usai doa bersama peringatan 21 tahun tsunami di Banda Aceh.
Simbol Lama, Luka yang Belum Sembuh
Bendera bulan bintang atau pusaka nanggroe yang bukan sekadar kain merah dengan simbol bulan sabit dan bintang. Ia sarat makna sejarah dan identitas. Warna merah melambangkan keberanian, bulan sabit dan bintang merepresentasikan Islam, putih sebagai kesucian, dan hitam sebagai kekuatan serta penderitaan rakyat Aceh. Inspirasi simbol ini diyakini berasal dari bendera Kesultanan Aceh.
Meski telah disahkan sebagai bendera daerah melalui Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013, hingga kini bendera tersebut belum mendapat persetujuan pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri menilai bentuknya terlalu menyerupai simbol GAM dan meminta perubahan desain.
Sejarah mencatat, bendera ini mulai dikenal luas sejak Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Hasan Tiro merupakan cicit Teungku Chik di Tiro yang meyakini Aceh sebagai entitas berdaulat yang tak pernah ditaklukkan Belanda, dan karena itu menggugat penggabungannya ke dalam NKRI. Keyakinan inilah yang menjadi fondasi ideologis perlawanan GAM selama puluhan tahun.
Kini, ketika bendera bulan bintang kembali berkibar di tengah bencana, Aceh seolah dihadapkan pada pertanyaan lama yang belum sepenuhnya terjawab: apakah negara hadir cukup cepat dan adil ketika rakyat paling membutuhkan?
Di antara puing-puing bencana dan duka yang belum kering, simbol konflik itu muncul kembali karena bukan semata sebagai tuntutan politik, tetapi sebagai ekspresi kekecewaan mendalam. Bagi Aceh, ini bukan sekadar soal bendera, melainkan tentang luka sejarah, rasa keadilan, dan kepercayaan yang kembali diuji.
***
Tim Redaksi.