Notification

×

Iklan

Iklan

Geli-geli Lucu di Negeri Stiker Kemiskinan dan Gelar Pahlawan

Senin, 08 Desember 2025 | 08.32 WIB Last Updated 2025-12-08T01:37:00Z

Foto, pemasangan stiker (Keluarga Miskin) di Bengkulu, Sumatera Utara.

Queensha.id - Bengkulu,



Stiker bertuliskan “Keluarga Miskin” tiba-tiba menghiasi dinding-dinding rumah warga di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Berukuran besar, mencolok, dan disebar oleh pemerintah setempat sebagai bentuk transparansi penerima bantuan sosial (Bansos). Tujuannya mulia: agar warga bisa ikut mengawasi siapa yang benar-benar berhak mendapatkan bantuan.


Namun, yang muncul justru reaksi tak terduga. Warga merasa identitas sosialnya direndahkan. Ada yang mencopot diam-diam, ada yang bersungut-sungut, ada pula yang menolak mentah-mentah.


“Tunggu, Bang. Saya miskin perasaan, bukan miskin ekonomi,” ujar seorang warga, seperti dikutip dari unggahan viral awal November.


Konon, ada pula warga yang memilih tidak menerima Bansos demi menjaga martabat. “Harga diri lebih mahal dari harga beras,” begitu katanya. Lucu tetapi getir.


Jika fenomena itu benar terjadi apa adanya, betapa mudahnya “menghapus kemiskinan” di negeri ini. Tidak perlu rapat kabinet. Tidak perlu janji “bukan omon-omon”. Cukup tempel stiker… lalu copot.



Ketika Harga Diri Disebut Miskin


Program Bansos tetap dibutuhkan, terutama bagi masyarakat yang memang kesrakat. Namun program seperti MBG, Sekolah Rakyat, atau Koperasi Merah Putih membutuhkan tata kelola ketat agar tepat sasaran. Ironisnya, stiker yang seharusnya menjadi alat transparansi justru berubah menjadi simbol penistaan sosial.


Di satu sisi, warga berhak menjaga martabat. Tetapi di sisi lain, negara berkewajiban memastikan bantuan sampai pada mereka yang betul-betul membutuhkan. Di antara dua kutub itu, yang mucul justru gelombang geli-geli lucu itu reaksi warga terhadap kebijakan yang kadang terasa paradoks.



Geli-geli Lucu soal Gelar Pahlawan


Kegelian itu makin menjadi ketika nama Soeharto kembali menjadi sorotan. Setelah dua kali ditolak (era SBY dan Jokowi), tahun ini ia justru masuk dalam daftar 10 penerima gelar Pahlawan Nasional.


Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, menyebut gelar itu “kontroversial.” Sejarah mencatat pelanggaran HAM dan kasus korupsi semasa kekuasaannya. Belum selesai perdebatan publik, muncul pula pernyataan seorang pejabat yang menihilkan tragedi dan bukti:


“Pelaku genosida apa? Mana buktinya? Enggak ada, kan?”


Pernyataan itu mengingatkan publik pada pernyataannya di tahun-tahun sebelumnya, ketika ia menyebut kasus perkosaan massal Mei 1998 hanya “mitos.” Ketika bukti-bukti disodorkan, pernyataan itu menghilang begitu saja. Ingatan kolektif bangsa, seolah-olah, bisa dipadamkan dengan satu tawa.



Makna Gelar yang Semakin Terkikis


Dalam artikelnya, Haryatmoko kembali mengingatkan: pemberian gelar pahlawan bukanlah rekayasa kekuasaan, melainkan penghormatan atas pengorbanan sehabis-habisnya untuk rakyat.


M.A.W. Brouwer, dalam tulisan klasiknya tahun 1969, bahkan menyindir gelar sebagai alat diferensiasi sosial yang sering membuat ego mengembang seperti balon. Ia menulis tentang negeri imajiner yang memberi gelar berdasarkan… jumlah batu ginjal. Sindiran itu kini terasa relevan kembali.


Di Indonesia, gelar pahlawan adalah simbol moral yang seharusnya menjunjung integritas. Jika gelar itu diputuskan tanpa mempertimbangkan trauma sejarah, maka wajar jika publik merasa geli—dan sedikit geram.



Paradox dalam Kebijakan Publik


Dari stiker kemiskinan hingga gelar pahlawan, masyarakat semakin sering menjumpai kebijakan yang menimbulkan “geli-geli lucu.”


Kabinet dikatakan efisien, tapi jumlah kursi justru gemuk. Korupsi dikecam, tapi penindakannya pincang. Banjir datang, pejabat berpose memikul karung beras sambil tertawa.


Apa mau dikata? Paradox seolah menjadi warna keseharian praktik bernegara. Tetapi masyarakat kecil berpikir sederhana. Mereka tidak menganalisis panjang. Mereka hanya menggeleng-geleng dan tersenyum pahit.



Agar Geli Tidak Berubah Jadi Tertawa atau Marah


Negeri ini butuh optimisme, bukan sinisme. Butuh kejujuran, bukan sekadar pencitraan. Butuh tindakan tegas terhadap koruptor, bukan stiker penanda kemiskinan.


Sebab data kemiskinan tidak akan turun hanya karena ditempeli spanduk “Bukan Keluarga Miskin” di depan rumah.


Ke depan, rasa geli-geli lucu mungkin akan semakin sering muncul. Yang penting, jangan sampai kegelian itu berubah menjadi tawa getir atau takut mendalam. Agar Indonesia tetap berjalan dengan waras, bukan hanya dengan slogan.


***

Sumber: KPS.

Tim Redaksi Queensha Jepara
08 Desember 2025