| Foto, tangkap tangan poster film, Pangku. |
Dalam sejarah sinema Indonesia, jarang ada film yang berani memandang kemiskinan bukan sebagai angka statistik yang dibacakan pejabat dengan senyum formal, melainkan sebagai jeritan sunyi yang hidup, bernapas, dan duduk manis di pangkuan negara. Film On Your Lap (Pangku) menjadi pengecualian yang mengguncang.
Debut panjang Reza Rahadian sebagai sutradara ini hadir bukan sebagai hiburan, melainkan sebagai tamparan. Ia datang tanpa permisi, mematikan lampu pesta nasionalisme palsu, dan memaksa penonton menyesuaikan mata dengan gelap yang selama ini sengaja diabaikan.
Alih-alih memilih genre aman sebagai drama romantis atau komedi keluarga tapi Reza justru menyelam ke wilayah abu-abu yang selama ini diperlakukan seperti rahasia umum: praktik kopi pangku. Semua tahu ia ada, tapi negara dan masyarakat memilih pura-pura tak melihat. Dari sanalah Pangku memulai dakwaannya.
Perempuan, Kemiskinan, dan Negara yang Absen
Latar krisis 1998 bukan sekadar penanda waktu, melainkan fondasi rapuh tempat cerita ini berdiri. Sartika, diperankan dengan penuh kepedihan oleh Claresta Taufan, adalah potret perempuan muda yang bertahan hidup dengan cara paling getir: meminjam tubuhnya sendiri untuk sekadar bertahan. Ia bukan tokoh yang menangis meraung-raung. Ia lelah. Dan justru di situlah horornya.
Christine Hakim tampil kuat sebagai Maya yang merupakan figur ibu, pelindung, sekaligus simbol generasi perempuan yang terlalu lama hidup berdampingan dengan luka hingga tak sempat lagi menghitung jumlahnya. Fedi Nuril sebagai Hadi, sopir truk dengan hati yang lebih becek dari jalur Pantura usai hujan, menambah lapisan ironi pada kisah ini.
Pangku bukan film air mata. Ia lumpur. Pekat, lengket, dan menenggelamkan. Dalam lanskap sinema dunia, film ini pantas disejajarkan dengan Shoplifters (Jepang), Roma (Meksiko), atau Nobody Knows. Namun Sartika tak menari seperti tokoh-tokoh dalam film itu. Ia berjalan terseok, memeluk dinding, mencari sisa harapan yang bahkan tak dijual di toko mana pun.
Estetika Sunyi yang Menuduh
Secara sinematik, Reza memilih jalan sunyi. Kamera dibiarkan menjadi saksi, bukan hakim. Narasi bergulir lamban, nyaris tanpa musik dramatis, seperti catatan harian yang sengaja tak dibereskan. Tidak ada solusi instan, tidak ada katarsis yang melegakan.
Adegan Sartika diturunkan dari truk dalam kondisi hamil tua yang berjalan tanpa tujuan yang terasa seperti potongan CCTV yang tertinggal di meja penyidik. Dingin, datar, dan justru karena itu menyakitkan. Inilah estetika anti-emosi yang melahirkan emosi paling liar di kepala penonton.
Para kritikus menyebutnya “narasi datar dengan energi moral dahsyat”. Lebih tepat disebut tamparan berulang. Karena tampaknya, negara memang harus diingatkan dengan cara itu.
Budaya Ketundukan yang Menjadi Normal
Pangku melampaui teori culture of poverty. Film ini menyodorkan tesis yang lebih pahit: Indonesia hidup dalam “budaya ketundukan”. Orang miskin bukan hanya kekurangan akses, tetapi juga kehilangan keberanian untuk merasa berhak.
Adegan Sartika meminta ikan di kampung nelayan adalah ironi antropologis kelas berat. Negara maritim, laut di depan mata, tapi warganya kelaparan. Sebuah moral paradox of proximity yang berubah menjadi komedi gelap republik ini.
Di banyak negara, film semacam ini memantik perubahan. Korea Selatan punya Silenced. India punya Article 15. Filipina punya Ma’ Rosa. Pertanyaannya: akankah Pangku di Indonesia hanya menjadi dekorasi festival, atau berani dibaca sebagai naskah dakwaan terhadap negara yang lalai menjalankan mandat konstitusi?
Cermin Retak Bernama Sinema
Pangku menegaskan bahwa keadilan di negeri ini bukan tidak ada, melainkan salah alamat. Ia dikirim ke ruang rapat ber-AC, bukan ke rumah beratap bocor tempat mimpi disimpan tanpa tanggal kedaluwarsa.
Reza Rahadian merupakan aktor yang telah meraih enam Piala Citra kini tidak membuat film tentang perempuan korban. Ia membuat film tentang negara sebagai pelaku, entah karena kelalaian atau kesengajaan. Dan itu jauh lebih menakutkan daripada hantu-hantu horor lokal.
Pada akhirnya, Pangku adalah cermin retak. Kita menatapnya dan terkejut, bukan karena melihat monster, tetapi karena yang tampak adalah diri kita sendiri yang duduk di pangkuan kejahatan struktural, sambil pura-pura tidak merasakannya.
Jika setelah menonton film ini kita tetap bergeming, mungkin bukan filmnya yang kurang kuat. Barangkali nurani kitalah yang sudah lama tidak diperbarui sistem operasinya.
***
Tim Redaksi.