| Foto, poster event musik dan budaya resmi yang dipersembahkan oleh Sahabat Lestari. |
Queensha.id - Jepara,
Di tengah gempuran budaya instan dan arus digital yang kian deras, seni tradisi kembali mengambil peran strategis sebagai ruang edukasi publik. Hal itu tercermin dalam Pagelaran Wayang Santri dan Kentrung bertajuk “Bima Suci Mbabar Ngelmu, Sangkan Paraning Dumadi” yang digelar dalam bingkai Literasi Budaya di Jepara.
Pagelaran ini mengusung pesan filosofis mendalam tentang pencarian jati diri manusia—asal-usul kehidupan dan tujuan akhir keberadaan—melalui lakon klasik Bima Suci. Perpaduan wayang santri dengan seni kentrung menjadikan pertunjukan ini tak sekadar hiburan, melainkan sarana refleksi spiritual dan sosial yang relevan dengan kehidupan masa kini.
Kegiatan tersebut didukung berbagai elemen kebudayaan dan literasi, melibatkan Kentrung Amongjiwo, Karawitan Among Jiwo SMKN 1 Kedung, serta dalang Ki Sokol Ronggo Warto, S.Pd. Kehadiran pelajar dan seniman muda menjadi penanda kuat bahwa regenerasi seni tradisi di Jepara masih berlangsung dan menemukan ruang aktualisasinya.
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, yang ditampilkan sebagai figur sentral dalam kegiatan ini, menegaskan pentingnya literasi budaya sebagai fondasi kebangsaan. Menurutnya, seni tradisi bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan sumber nilai untuk memperkuat karakter dan ketahanan sosial masyarakat.
Pagelaran ini juga menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman melalui siaran langsung di platform digital, memperluas jangkauan penonton tanpa kehilangan esensi budaya yang diusung.
Pengamat Sosial: Seni Tradisi Bukan Nostalgia, Tapi Kebutuhan Sosial
Pengamat sosial Jepara, Purnomo Wardoyo, menilai kegiatan ini memiliki makna strategis di tengah krisis identitas yang dialami masyarakat modern.
“Wayang santri dan kentrung bukan sekadar tontonan budaya. Ini adalah ruang literasi nilai, tempat masyarakat yang terutama generasi muda dan belajar tentang moral, spiritualitas, dan kebijaksanaan lokal yang mulai tergerus,” ujar Purnomo Wardoyo, Minggu (14/12/2025).
Ia menegaskan, seni tradisi memiliki fungsi sosial yang jauh melampaui estetika.
“Budaya lokal adalah penyangga moral masyarakat. Ketika seni tradisi terus dihidupkan, masyarakat tidak mudah tercerabut dari akar nilai dan jati dirinya,” tegasnya.
Menurut Purnomo, Jepara memiliki kekayaan budaya yang besar, namun tantangannya adalah menjaga keberlanjutan melalui kolaborasi antara negara, komunitas seni, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas.
Dari Poster ke Ruang Kesadaran Publik
Dengan visual resmi bernuansa biru dan emas, simbol wayang klasik, serta dukungan lembaga kebudayaan dan literasi, pagelaran ini menegaskan bahwa seni tradisi tidak kehilangan relevansi. Justru, ia menemukan bentuk baru sebagai medium pendidikan kultural di era modern.
Jepara kembali menegaskan posisinya bukan hanya sebagai kota ukir, tetapi juga sebagai ruang hidup kebudayaan—tempat nilai leluhur dirawat, dipentaskan, dan diwariskan secara sadar kepada generasi masa depan.
***
Tim Redaksi Queensha Jepara