Queensha.id - Klaten,
Retno Wulandari, gadis cantik dari Klaten, adalah sosok yang begitu bersinar. Sejak SMP, banyak laki-laki yang menaruh hati padanya. Namun, satu per satu mereka pergi tanpa sebab, terutama setelah datang ke rumah Retno. Padahal Retno bukan gadis sembarangan—rajin salat, hafal juz amma, dan gemar membaca Alquran. Orang tuanya pun hidup dalam lingkungan yang sangat religius.
Awalnya, Retno mengira itu hanya kebetulan. Tapi saat menginjak SMA, semua mulai terasa aneh. Setiap kali ada laki-laki yang mulai mendekat dan mencoba serius, mereka tiba-tiba menghilang begitu saja setelah bersilaturahmi ke rumahnya. Dan saat kebetulan bertemu kembali, mereka seperti tak lagi mengenalnya—datar, bahkan seolah menjauh dengan takut.
Malam itu di kamar kosnya saat sudah kuliah, Retno menatap langit-langit sambil berbisik:
"Ya Allah... kenapa setiap laki-laki yang datang ke rumah selalu menjauh dan menghilang begitu saja? Apakah ada yang salah denganku? Atau... ada yang salah di rumahku?"
Perlahan-lahan, ada kenangan samar terlintas. Sejak SMP, ia sering bermimpi didatangi sosok laki-laki berpakaian putih, bermata tajam tapi menenangkan. Sosok itu tak pernah bicara, hanya menatap Retno dari kejauhan, dan kadang muncul saat ia tertidur selepas salat Isya.
Suatu malam, seorang ustaz muda yang biasa mengisi pengajian di kampus mendekatinya. Namun, keesokan harinya, ia mendadak sakit keras dan memilih pulang kampung, tak pernah muncul lagi. Teman-temannya bilang wajah ustaz itu sempat pucat ketakutan setelah berpapasan dengan Retno.
Sampai suatu ketika, seorang wanita tua dari desa sebelah yang dikenal sebagai 'mbah penjaga batas' berkata lirih saat melihat foto Retno:
"Gadis ini sudah dipinang, sejak kecil. Tapi bukan manusia yang meminangnya."
Lamaran Tanpa Suara
Retno Wulandari, gadis jelita dari Klaten, sejak kecil sudah menjadi sorotan. Kulitnya putih bersih, matanya bening seperti telaga, dan tutur katanya selalu lembut. Ayahnya seorang dosen agama di perguruan tinggi Islam ternama, ibunya santri tulen, dan adiknya pun tak pernah lalai salat lima waktu.
Namun sejak kelas dua SMP, Retno mulai menyimpan rahasia yang tak bisa diceritakan pada siapa pun. Ia sering bermimpi tentang sosok laki-laki berpakaian serba putih, bermata hitam tajam, tapi wajahnya... terlalu sempurna untuk manusia. Ia berdiri jauh, namun aura dingin dan kuatnya terasa sampai ke dada Retno.
Yang lebih aneh, setiap kali Retno mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki, selalu ada yang aneh. Di awal mereka begitu tertarik, bahkan serius. Tapi setelah datang ke rumah Retno, keesokan harinya semuanya berubah. Mereka tak lagi membalas pesan, menjauh, dan akhirnya menghilang tanpa jejak.
Retno pernah bertanya pada ayahnya, tapi beliau hanya menjawab,
"Mungkin belum jodohnya, Nak. Sabar saja, yang baik akan datang dengan jalan yang baik pula."
Namun jawaban itu tak pernah memuaskan hatinya.
Saat memasuki semester pertama kuliah di Yogyakarta, Retno tinggal di kos putri dekat kampus. Malam itu, ia duduk termenung di sajadahnya, habis menangis dalam doa.
"Ya Allah, apa ada yang salah dengan diriku? Atau... apa ada yang salah di rumahku? Kenapa semua laki-laki selalu menjauh setelah datang ke rumah? Bukankah aku sudah menjaga salatku, membaca Alquran, dan menjaga diriku?"
Retno menunduk. Tapi tiba-tiba, bulu kuduknya berdiri. Angin dingin berhembus dari jendela yang seharusnya tertutup rapat. Dan di cermin kecil di sudut kamarnya, ia melihat bayangan... seseorang berdiri di belakangnya. Sosok putih... seperti dalam mimpinya.
Saat ia menoleh—tidak ada siapa-siapa.
Namun malam itu, mimpinya kembali datang. Tapi kali ini berbeda. Sosok itu berkata untuk pertama kalinya:
"Kau milikku. Dan tak seorang pun boleh mengambilmu, Retno."
Jejak di Rumah Lama
Pagi itu, Retno bangun dengan tubuh menggigil. Mimpi semalam masih melekat jelas di benaknya. Suara itu... suara lelaki dalam mimpi-mimpinya sejak SMP, akhirnya berbicara. Nadanya pelan, tapi dalam—menusuk langsung ke hati.
“Kau milikku. Dan tak seorang pun boleh mengambilmu, Retno.”
Sepanjang hari, Retno merasa cemas. Ia mencoba fokus mengikuti kuliah, tapi pikirannya melayang. Apalagi saat salah satu teman kuliahnya, Dimas, yang sempat akrab dengannya, mendadak berubah dingin. Bahkan ketika Retno menyapanya, Dimas hanya menunduk dan cepat-cepat pergi.
Retno mulai merasa yakin—ada sesuatu yang salah. Dan semua bermula dari rumahnya di Klaten.
Malam itu, ia menelepon ibunya.
> “Bu... waktu Retno SMP pernah nggak sih ada kejadian aneh di rumah?”
“Aneh gimana, Nak?”
“Ya... misalnya kayak orang datang malam-malam, atau mimpi yang aneh-aneh?”
Ibunya terdiam lama.
“Kamu kenapa nanya begitu, Nduk?”
Retno akhirnya jujur, menceritakan mimpi-mimpi tentang sosok pria berpakaian putih, tentang semua laki-laki yang menjauh setelah datang ke rumah. Suara ibunya terdengar gemetar.
“Retno... sebenarnya Ibu dan Bapak pernah menemukan kembang tujuh rupa dan dupa di belakang rumah, waktu kamu SMP. Tapi kami kira itu cuma perbuatan orang iseng...”
Jantung Retno berdegup keras.
“Dan waktu kamu lahir, ada seorang wanita tua datang ke rumah. Dia ngaku cuma lewat. Tapi dia sempat lihat kamu, terus bisik-bisik sendiri. Bapak usir dia... tapi malamnya, kamu demam tinggi tanpa sebab.”
Ada jeda panjang. Retno hampir tak bisa bernapas.
“Mbah Mijan, dukun tua di kampung sebelah... pernah bilang, anak perempuan yang terlalu bersih kadang disukai ‘mereka’. Tapi waktu itu kami tidak percaya...”
Hari itu juga, Retno memutuskan: ia harus pulang ke Klaten.
Bukan untuk mencari cinta... tapi untuk melawan sesuatu yang diam-diam telah mengikatnya sejak kecil.
Namun, ada satu hal yang belum Retno ketahui—di rumah lamanya, ada cermin tua peninggalan nenek buyutnya yang tak pernah bisa dipindahkan. Dan dari situlah semuanya berawal.
Cermin yang Tak Bisa Dipindah
Retno akhirnya tiba di rumah malam hari, disambut pelukan hangat ibunya dan sorot mata cemas dari sang ayah. Rumah itu masih seperti dulu—bersih, harum, dan tampak damai di luar. Tapi di dalam dada Retno, ada gelombang aneh yang tak bisa dijelaskan. Terutama saat melewati ruang tengah—tempat cermin tua berdiri sejak ia kecil.
Cermin itu besar, berkaki ukir dari kayu jati, dan memiliki bingkai bermotif sulur bunga yang hampir pudar. Dulu Retno sering bermain di depannya, bahkan berbicara sendiri seperti sedang bercermin dengan "teman imajinasi". Tapi kini, cermin itu terlihat... menatap balik.
“Cermin ini gak pernah bisa dipindah ya, Pak?”
Ayahnya mengangguk pelan. “Dulu sempat dicoba pas renovasi. Tapi tiap kali dipindah, pasti ada yang sakit.”
Retno merinding. Ia memutuskan untuk bicara serius.
“Pak, Bu… aku ingin cermin itu ditutup kain putih dan minta bantuan kiyai. Aku merasa, sejak kecil aku diikuti sesuatu. Dan sekarang sudah terlalu dalam.”
Keesokan harinya, mereka mengundang Kyai Mukhlis, seorang alim sepuh dari pesantren di lereng Merapi. Lelaki tua berjubah putih itu datang membawa tongkat kayu, ditemani dua santrinya. Setelah menyalami semua orang, ia berdiri di depan cermin dan memejamkan mata.
Lalu ia berkata lirih:
“Sudah bertahun-tahun makhluk ini menetap di sini. Dia memilih Retno sejak masih merah... karena melihat cahaya yang jarang dimiliki manusia. Ia menanamkan ‘pinangan’ gaib melalui cermin ini—tempat keluarganya menyeberang dari alam mereka.”
Ayah Retno menunduk, menggenggam tasbih dengan erat.
Ibunya menangis pelan di sudut ruangan.
“Makhluk itu jin keturunan putih. Baik dalam asal, tapi cemburu luar biasa jika merasa haknya terusik. Dialah yang membuat semua laki-laki yang datang jadi takut, hilang rasa, bahkan sakit.”
Retno terdiam, hatinya mencelos. Benar semua yang ia rasakan selama ini.
“Kalau tidak diangkat dan diputus ikatannya, Retno bisa sakit jiwa. Atau lebih buruk, diambil saat usia mudanya...”
Kyai Mukhlis lantas mengeluarkan kain kafan putih yang sudah didoakan, lalu menutupi cermin sambil membaca ayat-ayat ruqyah. Tapi saat cermin itu ditutupi penuh, tiba-tiba lampu di ruang tengah mati, dan angin kencang menghantam dari dalam rumah.
Dari balik kain penutup, cermin itu bergetar hebat—seperti ada sesuatu di dalamnya yang mengamuk.
“Dia marah,” ujar Kyai Mukhlis tenang. “Karena calon istrinya menolak.”
Malam Penentuan
Suasana rumah menjadi mencekam. Kain putih yang menutupi cermin tua itu berkibar sendiri, meski semua jendela sudah tertutup. Cermin bergetar, suara lirih seperti rintihan terdengar samar dari baliknya. Lampu berkedip-kedip, dan suhu ruangan mendadak turun drastis.
Kyai Mukhlis berdiri tegak sambil memejamkan mata, tangannya mengangkat tongkat kayu dan membaca ayat Kursi dengan lantang. Dua santrinya berdiri di sisi kanan dan kiri, terus mengumandangkan dzikir keras-keras.
“Retno,” kata Kyai Mukhlis tanpa menoleh, “datanglah ke depan cermin. Tapi jangan buka kainnya. Baca Al-Falaq dan An-Naas... tujuh kali. Hati-hati, kau akan melihat bayangannya... dalam pikiranmu.”
Dengan kaki gemetar, Retno maju. Suaranya tercekat, tapi ia paksakan mulutnya untuk komat-kamit. Saat sampai pada bacaan keempat, suaranya tercekat.
Tiba-tiba pikirannya dipenuhi bayangan sosok itu—laki-laki berwajah sempurna, bermata kelam dan dalam. Ia berdiri di hutan gelap, menatap Retno penuh luka dan... cinta.
"Kenapa kamu usir aku, Retno? Aku sudah menunggu. Aku menjaga setiap malam. Aku yang membuat semua menjauh, agar tak ada yang menyakitimu. Aku tak pernah menyentuhmu... aku mencintaimu dalam sujud dan sabdaku... tapi kenapa?”
Air mata Retno menetes. Sosok itu tidak marah. Ia sedih. Tapi matanya tetap menyeramkan—karena bukan manusia.
“Karena cinta seperti itu bukan takdirku!” teriak Retno dalam hati.
Di luar pikirannya, tubuh Retno mulai limbung. Kyai Mukhlis menempelkan telapak tangannya ke ubun-ubun Retno dan membaca ayat pemutus ikatan ghaib.
Tiba-tiba, dari balik cermin terdengar suara menggelegar, seperti sesuatu yang terbelah. Kain putih yang menutupi cermin terbakar sendiri dari tengah ke bawah.
Dan... sosok itu muncul sesaat di permukaan cermin. Wajahnya penuh kesedihan, lalu perlahan pudar... bersama suara terakhirnya:
"Aku akan pergi... tapi kau akan tetap sendiri, Retno. Karena cintaku meninggalkan luka.”
Cermin itu kemudian retak perlahan dari dalam, lalu pecah berkeping-keping—padahal tidak disentuh siapa pun.
Malam itu, Kyai Mukhlis menutup prosesi dengan doa panjang dan penguburan pecahan cermin di tanah kosong belakang rumah. Ia berkata pada keluarga Retno:
"Ikatan itu sudah putus. Tapi luka batinnya akan sembuh perlahan. Jin itu pergi karena cinta... dan cinta makhluk gaib adalah yang paling susah dipadamkan.”
Janji yang Tinggal Bayangan
Dua tahun berlalu sejak malam cermin itu pecah. Retno perlahan pulih. Tak ada lagi mimpi, tak ada lagi bayangan di cermin, tak ada lagi laki-laki yang tiba-tiba menjauh. Ia kembali tersenyum, menyelesaikan kuliah dengan baik, dan bekerja di lembaga sosial keislaman.
Hingga suatu hari, datanglah seorang pria bernama Arfan, santun, taat, dan lembut tutur katanya. Perkenalan mereka berlangsung sederhana tapi hangat. Tak seperti pria lain, Arfan malah semakin dekat meski sudah sering datang ke rumah Retno. Ia mencintai Retno dengan penuh kesabaran dan komitmen.
Lima bulan menjelang pernikahan, tak ada pertanda buruk. Semua tampak baik. Tapi malam itu, saat Retno menata baju lamanya di lemari, ia menemukan sepotong kain putih yang seperti bekas penutup cermin dulu... padahal semuanya telah dikubur.
Saat disentuhnya, ia mendengar suara samar:
“Retno… aku tak pernah benar-benar pergi. Tapi aku menepati janji. Tak akan mengganggumu.”
Retno tertegun, napasnya tercekat. Malam itu ia bermimpi: melihat Arfan berdiri di depan cermin lama, cermin yang kini sudah tak ada. Ia tersenyum pada Retno… dan di balik bayangannya, ada sosok putih berdiri tenang.
“Kami tak bisa kembali masuk… kecuali lewat tubuh yang diberi izin. Dia tak akan menyakitimu. Hanya ingin menjaga... dari kejauhan. Karena cintaku kini tinggal dalam bayang.”
Keesokan harinya, Retno menemui Arfan. Ia menatapnya dalam, dan bertanya:
“Kalau aku bilang... kau bukan orang biasa, kau marah?”
Arfan hanya tersenyum.
"Aku bukan dia. Tapi aku dititipkan satu hal—untuk memastikan kau bahagia. Jika itu harus melalui aku, maka aku akan jalani. Bukan untuk mengganggumu. Tapi menebus cinta yang dulu menakutkanmu.”
Retno menangis. Ia tak tahu harus bahagia atau takut. Tapi hatinya tenang. Ia tahu… selama Arfan tak mengganggu batas takdir, dan jin itu tak meminta lebih, maka cinta ini masih suci.
Pernikahan itu tetap berlangsung.
Tak ada gangguan. Tak ada teror. Tapi setiap malam, Retno tahu... ada cinta lama yang masih menjaga dari balik bayang.
***
0 Komentar