Breaking News

Benarkah Bulan Suro untuk Lebih Hati-hati dalam Bertindak? Ini Penjelasan Lengkapnya

Foto, malam bulan Suro. (Ilustrasi)

Queensha.id - Jepara,

Masyarakat Jawa sudah lama memegang teguh nilai-nilai budaya dan kepercayaan turun-temurun, termasuk dalam hal penanggalan tradisional. Salah satu bulan yang sering disebut-sebut sebagai waktu untuk "lebih hati-hati dalam bertindak" adalah Bulan Suro—bulan pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan Muharram dalam kalender Hijriyah.

Namun, benarkah Bulan Suro benar-benar dianggap keramat dan perlu ekstra waspada? Apa yang melatarbelakangi keyakinan ini? Berikut ini penjelasan lengkap dalam ulasan jurnalistik kami.

Antara Spiritualitas dan Tradisi

Bulan Suro secara historis dan spiritual memang menyimpan makna yang dalam. Dalam tradisi Islam, Muharram adalah bulan suci, salah satu dari empat bulan haram yang dijunjung tinggi. Di sisi lain, masyarakat Jawa menghayati Bulan Suro sebagai momen penuh spiritualitas, kontemplasi, dan laku batin.

Menurut budayawan asal Solo, Ki Harjo Wiyono, Bulan Suro bukanlah bulan sial, tetapi bulan untuk menundukkan ego, menata niat, dan mengendalikan hawa nafsu.

“Justru karena kesakralannya, masyarakat Jawa menghindari pesta, perayaan, bahkan bepergian jauh selama Bulan Suro. Ini bukan karena takut, tapi karena sedang fokus pada ketenangan batin dan keselamatan jiwa,” jelasnya.

Larangan-Larangan dalam Suro: Mitos atau Makna?

Banyak pantangan yang beredar di masyarakat saat Bulan Suro. Mulai dari larangan menikah, pindah rumah, mengadakan hajatan besar, hingga bepergian jauh. Pantangan-pantangan ini sebenarnya memiliki makna simbolis dan filosofis.

1. Menikah di Bulan Suro
Konon, pernikahan yang dilakukan di Bulan Suro akan membawa sial atau rumah tangga yang tak langgeng. Tapi jika ditelisik lebih dalam, larangan ini bukan soal mistis semata, melainkan simbol pentingnya momen introspeksi. Masyarakat Jawa percaya bahwa pernikahan adalah hal sakral dan sebaiknya dilakukan pada waktu yang penuh sukacita, bukan saat momen laku batin.

2. Tidak Mengadakan Hajatan Besar
Dalam banyak desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hajatan besar seperti wayangan, dangdutan, atau pesta pernikahan hampir tidak pernah diadakan di Bulan Suro. Ini karena bulan tersebut dianggap sebagai waktu khusus untuk ritual keheningan dan mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk euforia duniawi.

3. Tidak Bepergian Jauh
Larangan ini pun erat kaitannya dengan simbol keselamatan. Banyak orang tua dahulu percaya bahwa bepergian jauh di Bulan Suro bisa mengundang marabahaya. Sebenarnya, ini adalah bentuk kewaspadaan agar masyarakat lebih tenang, waspada, dan tidak gegabah dalam bertindak saat awal tahun Jawa.

Tradisi-Terkenal di Bulan Suro

Justru di tengah kesunyian Bulan Suro, berbagai tradisi sakral digelar. Di antaranya:

  • Tapa Bisu Kirab Pusaka Keraton Solo dan Yogyakarta
    Ribuan abdi dalem dan masyarakat mengarak pusaka keraton tanpa mengucap sepatah kata pun. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai keramat dan leluhur.

  • Nyadran Laut (Sedekah Laut)
    Di kawasan pesisir selatan Jawa, seperti di Jepara, Cilacap, dan Gunungkidul, nelayan mengadakan sedekah laut sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Sang Pencipta dan penghormatan terhadap alam.

  • Ritual Tirakatan dan Laku Prihatin
    Banyak orang menjalani tirakat, puasa mutih, tapa brata, dan semedi sepanjang malam di tempat keramat, gunung, atau makam leluhur sebagai bentuk penjernihan jiwa dan memohon keselamatan.

Antara Keyakinan dan Kehidupan Modern

Meski zaman telah berubah, tidak sedikit generasi muda yang masih mengikuti tradisi Suro. Bahkan, banyak yang mulai memahami bahwa semua pantangan dan anjuran dalam Bulan Suro tidak sekadar mitos, tapi mengandung ajaran moral: tentang kehati-hatian, introspeksi diri, dan menata langkah.

Sosiolog dari Universitas Negeri Semarang, Dr. Rita Wulandari, menyebut bahwa Bulan Suro adalah bagian dari kearifan lokal yang menyatukan spiritualitas, budaya, dan etika hidup.

“Kita tidak harus percaya secara mistik, tapi bisa memaknainya sebagai waktu untuk memperlambat ritme hidup, memperbaiki niat, dan menghindari keputusan impulsif,” ujarnya.

Kesimpulan

Benarkah Bulan Suro harus lebih hati-hati dalam bertindak? Jawabannya: ya, jika dilihat dari sudut pandang budaya dan spiritual. Bukan karena Bulan Suro menakutkan, melainkan karena bulan ini adalah saat untuk menahan diri, menimbang ulang setiap langkah, dan menguatkan sisi spiritual dalam hidup.

Daripada menghindar, mungkin inilah waktunya untuk mendekat. Bukan pada rasa takut, tapi pada keheningan, hikmah, dan penghayatan akan hidup itu sendiri.

***


Editor: Redaksi Jurnal Budaya & Masyarakat
Foto: Dokumentasi Kirab Suro Keraton Surakarta & Warga Jepara.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia