Breaking News

Cinta Terlarang di Keraton Yogyakarta: Perempuan yang Mengorbankan Asmara demi Bangsa

Foto, Keraton Yogyakarta dan Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, kelak dikenal dengan sebutan Nyi Ageng Serang. Lahir sekitar tahun 1752 di lereng perbukitan Serang, Jawa Tengah.


Queensha.id - Yogyakarta,

Di balik catatan sejarah perjuangan Indonesia yang didominasi oleh nama-nama pria, ada satu sosok perempuan tangguh dari abad ke-18 yang kisah hidupnya lebih dari sekadar catatan peperangan. Ia lahir sebagai bangsawan, jatuh cinta di tengah intrik politik keraton, lalu memilih rakyat sebagai cinta sejatinya.

Namanya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, kelak dikenal dengan sebutan Nyi Ageng Serang. Lahir sekitar tahun 1752 di lereng perbukitan Serang, Jawa Tengah, darah biru mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Pangeran Notodiningrat, adalah adipati sekaligus keturunan langsung Sunan Kalijaga.

Namun, hidupnya jauh dari kisah klasik putri keraton.


Cinta di Balik Tirai Sutra Keraton

Ketika remaja, kecantikannya tak hanya menjadi perbincangan di Serang. Kecerdasannya dalam ilmu perang dan tata negara membuat namanya terdengar hingga ke Keraton Yogyakarta.

Di sanalah kisah asmara terlarang dimulai. Seorang bangsawan keraton terpikat padanya. Namun hubungan mereka bak api dalam sekam. Perbedaan usia yang jauh, serta situasi politik dalam keraton yang penuh intrik, membuat cinta itu harus dijalani sembunyi-sembunyi. Bahkan sekadar tatapan bisa berarti ancaman bagi kedua keluarga.

"Raden Ajeng bukan hanya gadis cantik, ia adalah simbol harapan rakyat di tengah kemewahan yang penuh sandiwara," ujar Dr. Retno Sundari, peneliti sejarah perempuan Jawa, kepada tim kami.


Di Persimpangan Takdir: Antara Asmara dan Rakyat

Ketika melihat penderitaan rakyat karena pajak dan penindasan kolonial, Raden Ajeng dilanda kegelisahan. Ia menyadari bahwa kemewahan keraton hanya mempertebal jarak antara bangsawan dan rakyat kecil. Ia harus memilih.

Pada suatu malam, di bawah temaram bulan dan suara kentongan ronda, ia mengambil keputusan besar: meninggalkan keraton, meninggalkan cinta yang tak bisa dimiliki, demi rakyat yang membutuhkan pembela.

Ia kembali ke Desa Serang dan menikah dengan Pangeran Kusumowijoyo, bukan atas dasar politik atau status, tapi karena persamaan visi perjuangan.


Sang Komandan di Balik "Daun Lumbu"

Tahun 1825, ketika Perang Diponegoro meletus, usianya telah menginjak 70 tahun lebih. Namun semangat juangnya masih membara. Ia memimpin sendiri pasukan rakyat, bahkan dari atas tandu karena fisiknya tak lagi kuat berjalan jauh.

Di sinilah taktik “Daun Lumbu” melegenda.

Pasukannya menyamar di ladang talas, menyelimuti tubuh dengan daun lebar agar tak terlihat musuh. Taktik gerilya itu sukses mengecoh pasukan kolonial Belanda berkali-kali.

"Belanda tak hanya kalah taktik, tapi juga kalah hati," kata salah satu sumber dari Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta.


Akhir Hidup yang Menggema Abadi

Nyi Ageng Serang wafat pada tahun 1828 dalam usia 76 tahun. Ia dimakamkan di Bukit Beku, Kulon Progo, dengan penghormatan luar biasa dari rakyat dan sesama pejuang.

Hampir 150 tahun kemudian, tepatnya 13 Desember 1974, Pemerintah Republik Indonesia resmi menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Sebuah penghargaan yang tak hanya atas keberaniannya memimpin perang, tapi juga karena ketulusan memilih rakyat daripada cinta pribadi.


Potret Sang Pejuang: Kini Berwarna, Dulu Membara

Sebuah foto lama hasil restorasi digital dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta kini memperlihatkan wajahnya yang tegas dan penuh wibawa. Sorot mata tajam, kerudung sederhana, dan aura pemimpin yang tak tergantikan.



Jadi, Kisah Nyi Ageng Serang bukan sekadar legenda perjuangan. Ia adalah simbol kekuatan perempuan, keteguhan moral, dan pengorbanan cinta yang melampaui batas zaman. Di tengah dunia modern yang serba cepat dan seringkali abai pada sejarah, kisahnya mengingatkan kita: bahwa cinta paling murni adalah cinta kepada kebenaran dan kemanusiaan.

***

Referensi:

• Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta.
• Kompas: Kisah Nyi Ageng Serang, Pahlawan Perempuan dari Yogyakarta
• Wikipedia Indonesia.
• Buku Perempuan-Perempuan Perkasa Nusantara (2019).

Yogyakarta – Jawa Tengah | Laporan Khusus Sejarah & Budaya

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia