Queensha.id - Pulau Jawa,
Pulau Jawa, rumah bagi ribuan pondok pesantren yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan moral dan agama, kini tercoreng oleh deretan kasus kelam yang mengguncang nurani publik. Dalam rentang waktu dua tahun terakhir, kasus pencabulan terhadap para santri yang sebagian besar masih di bawah umur hingga muncul silih berganti di berbagai daerah, menyingkap sisi gelap di balik jubah kesalehan.
Karanganyar, Jawa Tengah – Kasus yang Menggemparkan Polda
September 2023 menjadi awal babak baru dalam sorotan publik terhadap ponpes. Seorang pengasuh pondok pesantren di Karanganyar dilaporkan oleh lima santriwati atas dugaan pencabulan. Kasus ini sontak menarik perhatian hingga ditangani langsung oleh Polda Jawa Tengah, menandakan keseriusan aparat terhadap perkara sensitif ini.
Semarang – Pemimpin yang Jadi Tersangka
Masih di bulan yang sama, publik dikejutkan oleh penetapan Bayu Aji Anwari seorang pimpinan Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi sebagai tersangka atas dugaan pencabulan terhadap santriwatinya. Kharisma yang selama ini dibanggakan warga sekitar, runtuh seketika. “Kami tidak menyangka. Ia dikenal santun,” ujar salah seorang tetangga.
Trenggalek – Ayah dan Anak Mengoyak Kepercayaan
Tragedi lebih memilukan terungkap pada Maret 2024 di Trenggalek, Jawa Timur. Seorang pengasuh berusia 72 tahun dan anaknya yang juga mengajar di ponpes, diduga mencabuli belasan santriwati sejak tahun 2021. Korban datang satu per satu, membawa kisah luka dan trauma panjang. Kepolisian menyebut jumlah korban bisa bertambah karena masih ada yang belum berani bersuara.
Tak berselang lama, pada Oktober 2024, kasus lain menyeruak dari Trenggalek. Seorang pengasuh pondok dilaporkan telah menyetubuhi santriwatinya hingga hamil. Tembok-tembok pesantren yang dahulu menjadi tempat mencari ilmu, kini menyimpan duka mendalam.
Jakarta Timur – Modus ‘Pijat’ di Balik Dinding Ponpes
Awal 2025, kasus serupa terkuak di Jakarta Timur. Dua pelaku, CH (pemilik ponpes) dan MCN (guru), ditangkap setelah lima santri mengaku menjadi korban. Mirisnya, dua korban adalah anak laki-laki yang dipaksa menerima ‘pijatan spiritual’ yang ternyata bermuatan pelecehan seksual. Modus ini dilakukan selama lebih dari tiga tahun sebelum akhirnya terungkap.
Cirebon – Guru yang Diberhentikan
Kasus di Cirebon pada Februari 2025 menunjukkan respons cepat dari pihak ponpes. Seorang guru dicopot setelah terbukti mencabuli salah satu santri. Meskipun kasus ini hanya melibatkan satu korban, langkah tegas dari pesantren patut diapresiasi. Mereka juga memperketat seleksi tenaga pengajar demi mencegah kejadian serupa.
Realitas Pahit dan Pertanyaan Besar
Kasus-kasus ini menyisakan pertanyaan mendasar: bagaimana bisa institusi yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru menjadi ladang kekerasan seksual? Ketimpangan kuasa antara santri dan pengasuh, lemahnya pengawasan internal, serta kultur tutup mulut demi menjaga nama baik pesantren, menjadi bagian dari akar masalah yang perlu dibongkar.
Pakar psikologi pendidikan menyebut bahwa santri yang menjadi korban sering kali terperangkap dalam ketakutan, rasa bersalah, dan tekanan sosial. “Mereka tidak tahu ke mana harus mengadu. Bahkan, ada yang merasa dosa jika melawan ustaz,” ujar seorang konselor anak dari Yogyakarta.
Harapan Baru dari Keberanian Korban
Namun dari luka-luka itu, muncul cahaya keberanian. Para korban yang akhirnya berani bersuara membuka jalan hukum, memaksa aparat bertindak, dan membuat publik lebih waspada. Masyarakat kini menuntut sistem perlindungan yang lebih kuat, transparansi dalam pengelolaan pondok, serta keterlibatan pihak independen dalam pengawasan.
Pendidikan agama tak boleh dibajak oleh para predator berbaju ustaz. Pondok pesantren harus kembali pada fitrahnya: mendidik dengan kasih, bukan melukai dalam sunyi.
***
Sumber: BS.
0 Komentar