Queensha.id - Jepara,
Setiap tahun, Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, di Kabupaten Jepara menjadi saksi sebuah tradisi unik yang menyulut semangat kebersamaan warga: Perang Obor. Namun di balik kobaran api yang menyala dalam ritual itu, ada sebuah sajian sederhana namun sarat makna yang justru membuka seluruh rangkaian acara dengan jajanan Kintelan.
Kintelan bukan sekadar makanan. Ia adalah lambang rekonsiliasi, jejak damai yang ditinggalkan dua tokoh utama dalam legenda desa: Ki Babadan dan Ki Gemblong. Konon, setelah perseteruan yang berujung pada Perang Obor, kedua tokoh ini berdamai dan menciptakan jajanan Kintelan sebagai simbol persaudaraan yang manis.
Dari Punden hingga Piring: Ritual yang Penuh Makna
Ritual Perang Obor bukanlah satu-satunya prosesi dalam tradisi Tegalsambi. Segalanya dimulai dari ziarah ke delapan punden leluhur, kirab pusaka, hingga penyembelihan kerbau sebagai sesaji. Namun sebelum api dinyalakan dan obor berkobar, jajanan Kintelan lebih dulu hadir dan dibagikan kepada tetangga dan kerabat sebagai sajian dalam sedekah bumi. Inilah pembuka dari seluruh rangkaian sakral yang dilakukan dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan.
Sekilas Mirip Klepon, Tapi Tak Sama
Jika sekilas Kintelan terlihat mirip klepon, maka Anda harus mencicipinya dulu. Keduanya memang sama-sama berbahan dasar ketan, tetapi Kintelan tidak direbus seperti klepon. Ia dikukus dalam barisan rapat di atas daun pisang yang sudah dioles minyak yang seolah menyimbolkan kelekatan, kedekatan, dan kebersamaan.
Perbedaannya juga tampak dari enten-enten (isiannya) dan saus yang digunakan. Jika klepon menggunakan parutan kelapa, Kintelan justru menggunakan santan kental (areth) dari kelapa tua yang kaya rasa dan sedikit berminyak.
Makanan dengan Filosofi Mendalam
Lebih dari sekadar rasa, Kintelan mengandung filosofi luhur. Tepung ketan sebagai bahan utama menggambarkan kelengketan atau "ngraketke" artinya mempererat ikatan antar manusia. Inilah simbol persaudaraan, kekompakan, dan kerukunan antar warga Tegalsambi.
Sementara santan, yang berasal dari kelapa, melambangkan perjuangan. Untuk mendapatkan santan, seseorang harus memanjat, menguliti, membelah, dan memeras dan seperti halnya dalam kehidupan, kenikmatan tak datang dengan mudah. Maka, saat kita menikmati Kintelan, kita diingatkan bahwa proses panjang dan kerja keras akan berbuah manis di akhir.
Resep Tradisional yang Bertahan dari Generasi ke Generasi
Meski hanya muncul sekali setahun, Kintelan tetap lestari berkat tradisi yang dijaga masyarakat. Berikut cara pembuatannya:
1. Kelapa tua diparut dan diperas untuk diambil santannya. Areh kentalnya dipisahkan untuk saus.
2. Kelapa muda diparut, lalu dicampur gula merah dan disangrai menjadi enten-enten, ditabur sedikit tepung ketan hingga bisa dibentuk bulatan.
3. Tepung ketan diuleni dengan santan encer, ditambah gula pasir dan garam secukupnya.
4. Ambil adonan, pipihkan, isi dengan bulatan enten-enten, lalu bentuk bulat.
5. Kukus di atas daun pisang berlapis minyak selama ±10 menit.
6. Setelah matang, sajikan dengan olesan areh di atasnya.
Dari Ritual ke Pasar Tradisional
Kini, Kintelan tak hanya hadir dalam seremoni Perang Obor. Beberapa pasar di Jepara, seperti Pasar Apung Demaan yang mulai menghadirkan Kintelan sebagai kudapan tradisional yang dicari para pemburu cita rasa lokal. Namun tetap, nuansa sakral dan nilai historis jajanan ini paling terasa saat ia disajikan dalam hangatnya kebersamaan menjelang Perang Obor.
Jadi, Kintelan bukan hanya jajanan. Ia adalah kenangan, doa, dan harapan yang dikukus dalam daun pisang. Sebuah warisan rasa dari leluhur yang terus bertahan, manisnya tak hanya di lidah, tapi juga di hati masyarakat Tegalsambi.
“Rasa manisnya bisa hilang, tapi makna yang dikandung Kintelan akan terus hidup sepanjang tradisi ini dijaga," pungkas sesepuh di Desa Tegalsambi.
***
0 Komentar