Foto, Gethuk yang diunggah oleh akun Facebook Hadi Priyanto. |
Queensha.id - Jepara,
Di tengah arus deras modernisasi makanan cepat saji dan tren kuliner kekinian, keberadaan makanan tradisional seperti gethuk dan tiwul mulai terpinggirkan. Unggahan dari jurnalis senior sekaligus budayawan Jepara, Hadi Priyanto, di akun Facebook pribadinya menjadi pengingat penting bahwa cita rasa lokal masih hidup dan meski perlahan tergerus zaman.
Dalam tulisannya, Hadi menceritakan pengalamannya saat melintasi pertigaan Desa Jerukwangi, dekat SMA setempat. Di sana, ia menemukan sebuah lapak sederhana yang menjual aneka jajanan tradisional seperti gethuk, tiwul, gobet, hingga blendung jagung. Harga yang ditawarkan pun sangat bersahabat, bahkan bisa dibeli mulai dari Rp2.500 per porsi.
“Rasanya lezat dan harganya sangat terjangkau,” tulis Hadi.
Namun, ia juga mengungkapkan kekhawatirannya akan semakin jauhnya generasi muda dari makanan-makanan khas daerah mereka sendiri. “Banyak anak-anak kita yang lebih memilih makanan jenis baru,” tambahnya.
Gethuk dan tiwul bukan sekadar makanan ringan biasa. Keduanya memiliki jejak sejarah panjang dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pada masa penjajahan Jepang, saat bahan pangan seperti beras sulit didapat dan harganya sangat mahal, masyarakat beralih ke makanan dari ketela pohon. Gaplek merupakan singkong yang dikeringkan hingga kemudian diolah menjadi tiwul. Proses serupa terjadi pada gethuk, hanya saja dengan metode pengolahan berbeda, yakni singkong yang dikukus lalu ditumbuk.
Magelang, misalnya, tercatat sebagai salah satu daerah yang mengembangkan makanan berbasis ketela secara masif pada masa itu. Dari kota ini pula, gethuk berkembang menjadi kuliner khas yang kini masih bisa ditemui dalam bentuk camilan maupun oleh-oleh.
Menanggapi fenomena ini, Hadi mengusulkan agar sekolah-sekolah di Jepara turut memperkenalkan makanan tradisional sebagai bagian dari pembelajaran budaya. Langkah ini diyakini mampu membangkitkan kembali kecintaan generasi muda terhadap warisan kuliner leluhur mereka.
Ajakan ini bukan semata tentang makanan, tetapi juga bagian dari usaha pelestarian identitas. Di tengah globalisasi yang menyuguhkan segalanya secara instan dan seragam, justru makanan tradisional menjadi penanda keberagaman dan kekayaan budaya lokal.
Kini, tinggal bagaimana masyarakat dan pemerintah daerah menyambut gagasan ini. Sebab jika tidak, bukan tak mungkin gethuk dan tiwul hanya akan tinggal nama dan terkubur di antara lembaran sejarah dan foto-foto nostalgia media sosial.
***
Sumber: Hadepe.
0 Komentar