Breaking News

Pati, Kabupaten yang Pernah Jadi Pusat tapi Kini Tertinggal

Foto, wilayah kecamatan di kabupaten Pati.


Queensha.id - Pati, 

Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pernah menjadi poros administratif penting di masa kolonial. Pada masa Hindia Belanda, kota ini adalah pusat Karesidenan Pati—wilayah administratif besar yang meliputi Kudus, Jepara, Rembang, Blora, hingga Grobogan. Namun, seiring waktu, kemajuan yang dicapai daerah-daerah tetangga tidak serta-merta diikuti Pati. Kabupaten yang dahulu menjadi poros kini justru tertinggal.


Pati bukan kabupaten tanpa sumber daya. Justru sebaliknya. Kabupaten ini memiliki sektor pertanian yang luas, perikanan laut dan tambak yang potensial, serta warisan budaya yang kaya. Namun, potensi tersebut belum sepenuhnya dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Banyak sektor justru mengalami stagnasi karena lemahnya hilirisasi, infrastruktur yang tertinggal, dan kebijakan publik yang kerap membingungkan.

Potensi Besar yang Belum Dikelola

Dalam bidang perikanan, Pati memiliki sentra perikanan Juwana, salah satu pelabuhan perikanan terbesar di pantai utara Jawa. Setiap hari, nelayan menangkap udang vaname, rajungan, cumi, dan berbagai komoditas laut lainnya. Namun, sebagian besar hasil tangkapan hanya dikirim sebagai produk mentah ke luar daerah, tanpa nilai tambah yang diciptakan di dalam wilayah sendiri.

Akibatnya, para nelayan tetap berada dalam lingkaran ekonomi subsisten. Pengolahan pascapanen yang lemah membuat nilai ekonomi terbesar justru dinikmati oleh daerah lain. Hal serupa terjadi di sektor pertanian. Kabupaten Pati merupakan produsen padi terbesar ketiga di Jawa Tengah, namun belum dikenal sebagai lumbung beras dengan merek yang kuat di tingkat nasional. Rantai distribusi yang panjang dan ketergantungan pada tengkulak membuat petani kehilangan kendali atas harga.

Infrastruktur: Masih Jadi PR Berat

Infrastruktur dasar, terutama jalan antar-kecamatan, masih menjadi tantangan serius di Pati. Jalur penghubung seperti Tambakromo, Winong atau Jakenan, Batangan mengalami kerusakan berkepanjangan. Jalan-jalan ini penting bagi arus distribusi hasil pertanian dan perikanan, namun hingga kini belum menunjukkan perbaikan berarti.

Pelabuhan Juwana pun belum sepenuhnya berfungsi sebagai simpul logistik yang strategis. Ketika pelabuhan serupa di kota lain telah mengalami modernisasi, Juwana masih tertahan dalam perencanaan jangka panjang yang realisasinya lambat.

Kebijakan yang Kontraproduktif

Kebijakan publik yang diambil Pemerintah Kabupaten Pati beberapa waktu terakhir turut menimbulkan polemik. Salah satunya adalah wacana penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 persen. Kenaikan ini menjadi beban tambahan bagi masyarakat yang ekonominya belum sepenuhnya pulih pascapandemi.

Langkah tersebut dinilai kontraproduktif oleh sebagian warga karena dilakukan tanpa dibarengi perbaikan layanan publik maupun pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Sementara itu, daerah tetangga seperti Kudus dan Jepara terus mengembangkan iklim investasi, mendorong UMKM, serta membangun sektor ekonomi kreatif.

Budaya yang Belum Dijual dengan Baik

Dari sisi budaya, Pati sebenarnya memiliki kekayaan yang luar biasa: Batik Bakaran, wayang krucil, hingga kuliner sego gandul yang khas. Namun, belum ada upaya serius untuk menjadikan budaya tersebut sebagai identitas ekonomi yang dijual ke tingkat nasional atau internasional.

Jika dibandingkan, Kudus memiliki Festival Jenang yang rutin digelar dengan narasi budaya yang kuat. Jepara memiliki Festival Kartini yang menjadi ajang promosi pariwisata dan ekonomi kreatif. Sementara itu, festival di Pati masih sporadis dan belum memiliki kekuatan promosi yang berdampak jangka panjang.

Pati Tertinggal karena Terlalu Nyaman

Kondisi ketertinggalan Kabupaten Pati bukanlah hasil dari nasib, melainkan akumulasi dari terlalu lama merasa cukup. Di tengah perubahan cepat dan kompetisi antarwilayah, Pati justru tampak berjalan di tempat. Belum ada arah yang jelas, belum ada terobosan signifikan.

Pembangunan tidak cukup hanya dilakukan lewat slogan atau musyawarah tahunan. Ia memerlukan keberanian untuk mengeksekusi dan mengevaluasi, serta kemauan kolektif dari pemerintah dan masyarakat untuk bergerak bersama.


Pati tidak kekurangan potensi, tapi kekurangan langkah nyata. Jika ingin mengejar ketertinggalan, maka transformasi harus dimulai sekarang dari desa, dari jalan kecil, dari nelayan, dari petani, dan dari kita semua yang masih peduli.

Cinta pada Pati tidak cukup dibuktikan lewat unggahan di media sosial. Ia harus diperlihatkan lewat kontribusi nyata, kerja bersama, dan visi jangka panjang. Karena masa depan Pati tidak ditentukan oleh masa lalunya, melainkan oleh keberanian kita hari ini.

***

Sumber: Mjk.
Oleh: Ali Achmadi.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia