Queensha.8id - Cerita Inspiratif,
Di sebuah rumah sederhana yang lantainya masih beralas tikar anyaman, kehidupan berputar tanpa banyak drama. Tapi bukan berarti tanpa luka. Setiap malam, meja makan keluarga kecil ini selalu menyajikan menu yang sama: tiga bungkus mi instan untuk lima mulut yang harus kenyang dengan rasa sabar, bukan dengan gizi.
Ibu menjadi juru masak sekaligus penyelamat rasa. Dengan sedikit irisan sawi, telur yang dibelah dua, dan air kuah yang diperbanyak, ia mencoba menghadirkan “kehangatan” meski tanpa kemewahan. Duduk bersila, mereka makan dalam diam yang lebih nyaring daripada teriakan. Di sanalah, kasih sayang menyamar menjadi sendok yang penuh pengorbanan.
Arga, si bungsu kelas satu SD, sudah belajar tentang filosofi makan perlahan—bukan karena diajari, tapi karena terpaksa. Sementara Dina, sang kakak SMA, memainkan peran pahlawan diam-diam dengan pura-pura kenyang dan menyisihkan porsi untuk adiknya. Ibu? Kadang tak makan sama sekali. Dengan alasan klise, “Ibu sudah kenyang,” padahal hatinya mungkin keroncongan, tapi cintanya lebih keras dari rasa lapar.
Namun yang paling menyayat hati bukanlah soal mi yang dibagi lima. Tapi apa yang terjadi setelahnya. Ayah—sosok kepala rumah tangga—dengan santai berdiri, menguap, lalu mengeluarkan uang dari saku celananya yang robek. Uang lecek dua puluh ribuan yang tidak akan pernah jadi telur, tidak akan pernah jadi susu buat Arga, tidak akan pernah jadi vitamin buat Dina yang kelelahan belajar.
Uang itu yang bisa menyehatkan malah dibelanjakan untuk sebatang candu bernama rokok.
Tak ada protes, hanya sunyi yang menyentak. Si anak sulung menatap uang itu seperti menatap pisau, karena ia tahu: yang dibeli bukan sekadar tembakau, tapi kesempatan untuk hidup lebih layak yang kembali hilang.
Ketika rokok itu dinyalakan dan asapnya melayang ke langit, dari balik tirai dapur, ibu terlihat menyeka air mata. Mungkin karena tahu, kelelahan yang katanya “terusir oleh rokok” itu justru berpindah ke pundak dan dada mereka. Tak berasap, tapi membakar lebih dalam.
Kisah ini bukan hanya tentang kemiskinan. Ini soal prioritas. Tentang bagaimana satu batang rokok bisa lebih mudah dibeli daripada empati. Lebih gampang didapat daripada satu liter susu untuk anak. Dan lebih diterima daripada teguran sayang dari istri.
Ada banyak keluarga di luar sana yang hidup dalam lingkaran serupa. Di mana kehangatan bukan dari nasi hangat, tapi dari air kuah mi yang dibanyakin. Di mana kebahagiaan bukan dari cukupnya gizi, tapi dari pura-pura kenyang dan menahan lapar.
Ironisnya, rokok tetap hadir. Menjadi “raja kecil” di rumah yang hampir tak punya apa-apa.
Pesan Sunyi di Balik Asap
Kisah ini bukan untuk menyalahkan sepenuhnya. Tapi untuk mengajak kita bercermin. Tentang bagaimana kadang cinta seorang ayah tersesat dalam kepulan asap. Tentang ibu yang diamnya menyimpan tangis. Tentang anak-anak yang belajar dewasa terlalu cepat, hanya karena keadaan memaksa.
Jika sebatang rokok bisa diganti dengan sebutir telur, mungkin ada tawa di meja makan. Jika dua puluh ribu itu berubah jadi beras, mungkin tak perlu lagi pura-pura kenyang.
Sungguh, bukan soal miskin atau kaya. Tapi soal memilih: antara memuaskan diri sendiri, atau memberi makan mereka yang kita cintai.
Renungan untuk Kita Semua:
Seandainya asap itu bisa jadi nasi,
Mungkin anak-anak tak tumbuh dengan sabar yang kelaparan. Tapi dengan kenyang yang penuh harapan.
Mari belajar lebih bijak dalam memilih. Karena kadang, satu bungkus rokok hari ini, adalah hilangnya satu kesempatan anak kita tumbuh lebih sehat esok hari.
Semoga menggerakkan hati. Semoga membuka mata. Karena sebungkus mi dan sebungkus rokok, bisa menyimpan pelajaran yang sangat dalam.
***
Sumber: BS.
0 Komentar