Queensha.id - Jepara,
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, budaya lokal tak lantas hilang ditelan zaman. Di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, sebuah tradisi sakral terus hidup dan terjaga selama ratusan tahun. Tradisi itu adalah ritus Perang Obor, sebuah upacara budaya yang kental dengan nilai spiritual dan sejarah lokal.
Perang Obor bukan hanya soal aksi menyalakan daun kelapa kering (blarak) dan saling menyulut api dalam kegelapan malam. Ia adalah puncak dari serangkaian ritual panjang yang berakar kuat pada tradisi sesaji, warisan budaya pra-Islam yang hingga kini masih lestari.
Sesaji: Jejak Kepercayaan Leluhur
Sesaji merupakan bagian penting dari budaya Jawa. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun bahkan sejak zaman sebelum Islam datang. Sesaji terdiri dari beragam makanan, minuman, bunga, hingga dupa yang dipersembahkan secara simbolis untuk berkomunikasi dengan kekuatan gaib, Tuhan, leluhur, dan roh-roh yang diyakini menjaga keharmonisan semesta.
Menariknya, sesaji tidak selalu identik dengan kepercayaan mistik semata. Ia adalah bagian dari akulturasi budaya Hindu dan Islam, yang dalam praktiknya menjadi bentuk nyata dari kebijaksanaan lokal dan kearifan spiritual masyarakat.
“Sekarang maknanya lebih kepada bentuk ikhtiar kepada Allah SWT. Kami mohon berkah dan keselamatan, juga sebagai penghormatan kepada leluhur dan pelestarian budaya,” ujar Agus Santoso, Petinggi Desa Tegalsambi.
Ubo Rampe : Bahasa Simbol dalam Tradisi
Dalam pelaksanaan Perang Obor, sesaji yang dikenal sebagai ubo rampe harus disiapkan dengan detail dan khidmat. Isi sesaji pun beragam, mulai dari gedang rojo, kelapa muda, bubur merah putih, hingga kendi berisi air dan bumbu dapur lengkap. Masing-masing item memiliki makna simbolik, dari harapan kesuburan, keselamatan, keseimbangan, hingga ketulusan hati dalam menjalani kehidupan.
Sesaji ini diletakkan di sejumlah titik sakral: rumah petinggi, perbatasan desa, balai desa, dan makam leluhur. Semua dilakukan bukan sekadar seremoni, tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan spiritualitas yang diwariskan oleh para sesepuh.
Perang Obor: Api yang Menyembuhkan
Ritual Perang Obor digelar setiap Senin Pahing malam Selasa Pon di bulan Besar (Dzulhijjah). Tradisi ini dipercaya berasal dari kisah dua sahabat, Ki Babadan dan Ki Gemblong, yang bertikai menggunakan api blarak karena ternak Ki Babadan yang dirawat Ki Gemblong jatuh sakit.
Ajaibnya, dari perkelahian itu, percikan api justru menyembuhkan ternak-ternak yang sakit. Sejak saat itu, masyarakat Tegalsambi menjadikan peristiwa tersebut sebagai simbol penyembuhan, sekaligus bentuk syukur dan permohonan keselamatan.
Kini, Perang Obor bukan hanya sebuah pertunjukan adat. Ia adalah identitas budaya, manifestasi spiritual, dan ruang edukasi bagi generasi muda agar tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Menjaga Tradisi di Tengah Zaman
Di era serba cepat seperti sekarang, mempertahankan tradisi seperti sesaji dan Perang Obor menjadi tantangan tersendiri. Namun, masyarakat Tegalsambi membuktikan bahwa budaya lokal bisa hidup berdampingan dengan modernitas, selama ada rasa memiliki dan keinginan untuk melestarikan.
Dalam asap dupa dan kobaran obor, tergurat jejak panjang peradaban, keyakinan, dan doa-doa yang tak lekang oleh waktu.
“Tradisi bukan sekadar warisan, tapi juga jalan pulang menuju jati diri,” tutur Agus penuh makna.
***
Sumber: SB.