Foto, dua orang jawa yang membahas tentang nilai-nilai budaya yang mulai tergerus modernitas. Namun di tengah gejolak itu, masyarakat Jawa dikenal tetap teguh memegang prinsip-prinsip kearifan lokal yang menjadi fondasi hidup mereka. |
Queensha.id - Jepara,
Dalam derasnya arus perubahan zaman, banyak nilai-nilai budaya yang mulai tergerus modernitas. Namun di tengah gejolak itu, masyarakat Jawa dikenal tetap teguh memegang prinsip-prinsip kearifan lokal yang menjadi fondasi hidup mereka. Hal ini disampaikan oleh mantan purnawirawan polisi asal Jepara, Purnomo Wardoyo, yang menyoroti filosofi kehidupan orang Jawa sebagai penopang ketahanan mental dan sosial masyarakat.
“Masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal yang luar biasa dalam memandang kehidupan,” ujarnya saat ditemui dalam sebuah forum budaya di Jepara.
“Mereka memahami betul konsep keseimbangan dan harmoni, yang tercermin dalam sikap nrimo ing pandum, menerima apa adanya dengan lapang dada," imbuhnya.
Dalam pandangan Purnomo, filosofi Jawa bukan sekadar nasihat atau pepatah turun-temurun, melainkan panduan hidup yang melekat dalam laku sehari-hari. Prinsip alon-alon waton kelakon misalnya, mengajarkan pentingnya kesabaran dalam proses. Bukan berarti pasif atau lamban, tetapi cerminan dari sikap hati-hati, penuh perhitungan, dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya nilai tepa selira atau tenggang rasa. Di tengah kehidupan sosial yang kian kompetitif, kemampuan untuk memahami perasaan dan posisi orang lain menjadi bekal penting untuk menjaga kerukunan dan toleransi.
“Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi harmoni. Bukan hanya antar sesama manusia, tetapi juga dengan alam dan dengan Tuhan,” tutur Purnomo.
“Konsep manunggaling kawula gusti adalah spiritualitas yang mengakar, bahwa manusia harus bersatu dan berserah pada kehendak Tuhan. Dari sini lahir sikap rendah hati dan penuh syukur," jelasnya.
Nilai-nilai ini, menurutnya, adalah ‘penangkal alami’ dari ketegangan sosial yang sering muncul akibat egoisme, kerakusan, dan ketidakseimbangan dalam kehidupan modern. Dalam istilah Jawa, zaman yang serba tidak pasti dan membingungkan ini disebut wolak-walike zaman dan ketika nilai-nilai terbalik dan kebenaran menjadi bias. Di saat seperti inilah, kata Purnomo, kearifan lokal menjadi pelita.
Ia pun berharap generasi muda dapat terus melestarikan nilai-nilai ini, bukan dengan mengurung diri dari kemajuan, tetapi dengan menjadikannya fondasi moral dalam menghadapi tantangan global.
“Semoga tulisan dan pandangan saya ini bisa menjadi pengingat dan inspirasi. Bilamana ada kekurangan, saya mohon maaf. Salam hormat saya,” tutupnya.
Artikel ini bukan hanya menjadi refleksi budaya, tetapi juga seruan untuk kembali pada akar kearifan yang telah terbukti mampu menjaga ketentraman batin di tengah dunia yang terus berubah.
***
Sumber: PW.
0 Komentar