Breaking News

SPMB SMP Jepara 2025: Ketika 239 Kursi Kosong Mencerminkan Kegagalan Sistem Pendidikan

Foto, sekolah menengah pertama.

Queensha.id - Jepara,

Penutupan resmi Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) tingkat SMP Negeri di Kabupaten Jepara tahun ini menyisakan tanda tanya besar di benak publik. Di tengah membludaknya keluhan dari para orang tua dan siswa soal ketatnya seleksi masuk sekolah negeri, justru tercatat ada 239 kursi kosong dari total 8.288 kuota yang tersedia. Sebuah ironi yang menyayat nalar.

Statistik ini bukan sekadar angka dalam laporan tahunan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Jepara. Ia adalah cermin buram dari sistem penerimaan yang dinilai terlalu rigid, kurang responsif, dan cenderung abai terhadap realitas sosial yang ada. Ironi ini menyulut kritik, membuka perdebatan, dan menohok langsung ke jantung keadilan pendidikan yang seharusnya inklusif.


Zonasi: Alat Pemerataan yang Menjadi Belenggu

Salah satu biang kerok yang terus menjadi sorotan adalah sistem zonasi. Di atas kertas, zonasi dirancang untuk mendekatkan akses pendidikan dengan domisili siswa, menciptakan pemerataan kualitas antarsekolah. Namun pada praktiknya, sistem ini justru menjerat potensi.

Kasus viral yang diangkat oleh akun media sosial Shella Octavia jadi gambaran nyata. Anaknya, yang telah berjuang melalui jalur prestasi dan mendaftar ke lima SMP negeri berbeda, tetap gagal lolos—bukan karena nilai atau kemampuan, melainkan karena alamat rumah yang “kurang dekat”. Ini bukan semata keluhan personal. Ini luka struktural yang tak kunjung sembuh.

“Apakah pendidikan kini hanya milik mereka yang tinggal di radius satu kilometer dari sekolah favorit?” — komentar netizen yang mewakili keresahan kolektif.


Sekolah: Bukan Ajang Adu Gengsi

Akun media lain, Kho Zeen, melontarkan kritik tajam: sekolah negeri seharusnya menjadi kawah candradimuka, bukan tempat saringan prestasi. Ketika sekolah negeri lebih sibuk mencari “siswa unggulan” ketimbang mendidik semua anak dengan potensi beragam, maka misi membentuk generasi bangsa ikut tergerus.

Sebanyak 239 kursi yang tak terisi menjadi simbol bahwa sistem ini bukan lagi soal keterbatasan fasilitas, tetapi soal keberpihakan atau ketiadaannya.


Evaluasi Bukan Sekadar Tambal Sulam

Disdikpora Jepara mungkin akan menjawab bahwa seluruh jalur pendaftaran telah dibuka: domisili, afirmasi, mutasi, prestasi. Bahkan masa daftar ulang pun diperpanjang. Namun pertanyaannya bukan lagi soal prosedur, melainkan filosofi dasar dari sistem penerimaan itu sendiri.

Kekosongan ratusan kursi di tengah antrean siswa yang tersingkir karena teknis zonasi menunjukkan adanya kemandekan kebijakan. Ini bukan soal “belum cukup pendaftar”, melainkan “mengapa yang berniat daftar justru tak terakomodasi?”


Membuka Mata, Membuka Akses

Momentum ini seharusnya menjadi wake-up call bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Jepara. Dibutuhkan evaluasi menyeluruh, bukan hanya perbaikan teknis. Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, bukan privilese bagi yang “beruntung secara geografis”.

“Sekolah negeri adalah pagar terakhir bagi anak-anak dari keluarga tak mampu. Jika pintu itu masih tertutup saat kursi masih kosong, maka kita sedang mengkhianati konstitusi," tutup pengamat pendidikan lokal

Sudah saatnya Disdikpora membuka peluang lebih luas. Memberikan ruang bagi siswa dengan semangat tinggi, bukan hanya skor tinggi. Karena di balik setiap anak, selalu ada masa depan yang patut diberi kesempatan.

***

Sumber: G7/AR.

0 Komentar

© Copyright 2025 - Queensha Jepara
PT Okada Entertainment Indonesia