Foto, ilustrasi pasangan suami istri yang masih muda. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Menikah bukan sekadar pesta indah dan foto prewedding yang sempurna. Ia adalah perjalanan panjang, berliku, dan terkadang melelahkan. Di tahun-tahun awal pernikahan—tahun pertama, kedua, hingga tahun kelima—tak jarang badai datang silih berganti. Bukan karena tak cinta, tapi karena hidup memang tidak pernah sederhana.
Ada pasangan yang diuji karena ekonomi menurun, belum juga diberi momongan, atau merasa perbedaan visi hidup semakin tampak. Belum lagi jika harus berhadapan dengan “mertua ala sinetron Indosiar” yang seolah tak pernah puas dengan menantu pilihannya. Semua itu terasa begitu berat, terutama ketika harapan dan kenyataan tidak sejalan.
Namun, selama permasalahan itu bukan dalam kategori berat seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyimpangan seksual, perselingkuhan, atau suami yang enggan menafkahi, maka ada baiknya untuk menanamkan satu kata: sabar.
Sabar bukan berarti diam dan menahan luka tanpa usaha. Sabar artinya terus belajar memahami, terus berusaha memperbaiki, dan terus berharap pada kebaikan yang akan datang. Banyak pasangan muda menyerah pada tahun-tahun awal karena merasa terlalu cepat lelah. Padahal, menurut sebagian psikolog dan pegiat rumah tangga, fase jenuh yang paling berat justru akan datang setelah usia pernikahan melewati satu dekade.
Pada usia pernikahan yang ke-10 tahun ke atas, masalah bukan lagi tentang handuk basah di atas kasur atau mertua yang ikut campur. Tapi lebih pada ujian kebutuhan sehari-hari untuk berjuang bersama, meski lelah. Sabar artinya tidak lari ketika suasana hati sedang tak seirama. Sabar adalah bertahan karena cinta, bukan sekadar karena status.
Masalah di awal pernikahan memang menggoyahkan. Tapi percayalah, itu bukanlah puncak dari semua ujian. Justru, yang lebih menggetarkan adalah ketika pernikahan sudah memasuki usia satu dekade atau lebih. Saat cinta tidak lagi sekadar degup jantung, tetapi sudah berubah menjadi rutinitas. Di fase itu, pertanyaan seperti “Masihkah aku mencintainya?” atau “Mengapa aku tidak lagi merasa berbunga-bunga saat bersamanya?” mulai muncul di benak.
Di situlah ujian sebenarnya dimulai. Bukan lagi tentang handuk basah di atas kasur, atau siapa yang mencuci piring malam ini. Tetapi tentang kejenuhan. Tentang dua hati yang harus tetap saling mencintai, saling memilih, meski tanpa drama dan romansa seperti awal-awal dulu.
Pasangan yang mampu melewati tahun-tahun awal dengan bahu yang tetap bersanding, akan punya bekal kuat saat badai “fase jenuh” datang di usia pernikahan yang lebih dewasa. Sebab mereka sudah terlatih menyelesaikan masalah tanpa harus saling menyalahkan, sudah terbiasa menurunkan ego demi kebaikan bersama, dan sudah terlatih untuk bersabar dalam segala ketidaksempurnaan.
Allah sedang menempa hati kalian—para istri, para suami—untuk siap menghadapi gelombang yang lebih besar. Mungkin sekarang terasa melelahkan. Tapi yakinlah, semua ini bukan sia-sia. Kelak, saat kalian duduk berdua di beranda rumah di usia senja, menatap anak-anak yang tumbuh bahagia, kalian akan tersenyum dan berkata, “Kita pernah hampir menyerah, tapi syukur kita tidak melakukannya.”
Cinta sejati bukan tentang tidak pernah bertengkar. Tapi tentang tetap memilih satu sama lain, meski dunia memberi sejuta alasan untuk pergi.
Maka, bagi pasangan muda yang sedang diuji, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa rumah tanggamu gagal. Jangan terlalu cepat berpikir bahwa dia bukan jodohmu. Kadang, jodoh memang bukan tentang sempurna, tapi tentang siapa yang mau bertahan dalam proses memperbaiki dan diperbaiki.
Ingat, ujian pernikahan bukan tentang menemukan pasangan yang sempurna. Tapi tentang mencintai orang yang sama, setiap hari, sampai Surga-Nya. InsyaAllah.
***
Penulis: Rahma Fitri
Tulisan ini berasal dari unggahan inspiratif penulis di akun pribadinya, dan telah diadaptasi dalam bentuk artikel jurnalistik untuk menguatkan para pasangan muda yang tengah diuji.
0 Komentar