Foto, ilustrasi seorang perempuan diajak pulang dari wisuda TK. |
Queensha.id - Edukasi Sosial,
Momen wisuda yang semestinya penuh suka cita, belakangan justru menjadi keluhan di tengah masyarakat, khususnya para orang tua murid Taman Kanak-Kanak (TK). Tradisi wisuda TK yang marak digelar di berbagai daerah kini dinilai tak lagi sekadar seremoni perpisahan, melainkan telah menjelma menjadi beban finansial yang cukup berat bagi sebagian keluarga, terutama dari kalangan menengah ke bawah.
Keluhan ini mencuat salah satunya melalui unggahan akun Facebook Nice Ide 01, yang secara terang-terangan mempertanyakan urgensi dan manfaat dari acara wisuda anak TK. “ACARA WISUDA ANAK TK HANYA JADI BEBAN ORANGTUA, APA MANFAATNYA ANAK TK WISUDA..?” demikian kutipan awal unggahan tersebut.
Dalam postingan yang viral itu, disebutkan bahwa banyak orang tua terpaksa merogoh kocek hingga Rp500 ribu demi membiayai prosesi wisuda anaknya. Bahkan, ada yang harus mencari pinjaman karena tak sanggup membayar biaya yang diminta oleh pihak sekolah.
“Kalau penghasilan stabil sih tidak terasa, tapi banyak yang penghasilannya pas-pasan. Anak yang disekolahkan juga tidak hanya satu. Apalagi harga hasil pertanian sekarang murah semua,” tutur salah satu orang tua murid yang berprofesi sebagai buruh tani.
Padahal, setelah lulus TK, sang anak masih harus melanjutkan ke jenjang Sekolah Dasar (SD) yang juga memerlukan biaya tak sedikit — mulai dari pembelian seragam, buku, tas, sepatu, hingga transportasi. Tidak heran jika sebagian masyarakat mempertanyakan prioritas pengeluaran sekolah, terutama di level pendidikan dasar yang mestinya lebih fokus pada substansi belajar dibanding kemasan seremonial.
Meskipun beberapa sekolah mengklaim sudah menyiapkan dana tabungan untuk acara wisuda, nyatanya tidak semua orang tua setuju jika tabungan itu dialokasikan untuk prosesi perpisahan. “Akan lebih bermanfaat kalau tabungan anak digunakan untuk keperluan masuk SD,” imbuh orang tua lainnya.
Isu ini menjadi potret ketimpangan antara program sekolah dengan realita ekonomi sebagian besar keluarga siswa. Di satu sisi, ada dorongan untuk tetap menjaga semangat dan penghargaan atas pencapaian anak. Namun di sisi lain, pelaksanaan wisuda yang menuntut pengeluaran besar justru menimbulkan tekanan psikologis dan ekonomi bagi orang tua.
Tidak sedikit pula yang mengeluhkan bahwa keluhan seperti ini kerap dipendam diam-diam karena khawatir dianggap ‘tidak mendukung sekolah’ atau ‘tidak sayang anak’. “Banyak yang merasa keberatan, tapi tidak berani bersuara,” tulis akun tersebut.
Fenomena ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi para penyelenggara pendidikan usia dini, termasuk Dinas Pendidikan di daerah. Perlu ada regulasi yang menyeimbangkan antara penghargaan simbolis bagi anak dengan prinsip kesederhanaan dan kepekaan sosial terhadap kondisi ekonomi keluarga.
Masyarakat pun berharap, mulai tahun ajaran mendatang, kebijakan terkait pelaksanaan wisuda di tingkat TK ditinjau ulang. Mungkin bukan berarti dilarang total, tetapi bisa dirancang agar lebih inklusif, sederhana, dan tidak membebani orang tua.
Di tengah dorongan untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini, sudah waktunya semua pihak — sekolah, orang tua, dan pemerintah — duduk bersama untuk memikirkan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan anak, bukan hanya apa yang terlihat indah di foto.
Apresiasi tak harus mewah. Cukup tulus dan ringan di kantong.
***
Sumber: Nice Ide 01.
0 Komentar